Catatan Pasca Pemilu : Politik Uang Makin Ngeri

Oleh Redaksi KABARPALI | 16 Februari 2024
ilustrasi/net


PALI [kabarpali.com] - Usai perhelatan pesta demokrasi di Indonesia, 14 Februari 2024 kemarin, berbagai cerita mengemuka. Baik kisah indah, maupun yang tercatat sebagai cela. Termasuk tentang politik uang yang disebut-sebut kian membuat bulu kuduk merinding. Ngeri sekali.

Ya.. politik uang yang digadang-gadang akan terus diperangi oleh penyelenggara maupun pengawas pemilu, justru nampak makin vulgar dan terang-terangan di lakukan oleh peserta pemilu. Hal itu dianggap sudah merupakan hal biasa dan bagian dari budaya.

Di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) Provinsi Sumatera Selatan, puluhan milyar rupiah diprediksi mengalir di tengah masyarakat. Indikatornya, minimal dua caleg hampir di tiap partai menggelontorkan ongkos politik antara Rp500 juta hingga Rp3 milyar. Kejadian serupa, juga mungkin terjadi di wilayah lainnya.

Pengamatan media ini, uang itu tak hanya digunakan untuk biaya belanja Alat Peraga Kampanye (APK) saja, tetapi juga untuk memberi ‘saweran’ pada calon pemilih di tiap Daerah Pemilihannya (Dapil). Nominal sawerannya antara Rp200 ribu hingga Rp600 ribu per mata pilih.

Politik uang yang terjadi sesungguhnya bukanlah menjadi prihal rahasia lagi. Setiap orang nyaris memberi kesan permisif, memaklumi dan menganggap sesuatu yang lumrah saja. Dukungan dan restu pemilih sangat ditentukan oleh seberapa besar peserta pemilu bisa memberi saweran pada mereka.

“Untuk menargetkan perolehan suara 1000 orang, setidaknya kita harus ‘menembak’ 2500 pemilih. Margin errornya memang sangat tinggi. Bisa lebih 50%,” cetus salah satu Calon Legislatif, yang tak bersedia menyebutkan identitasnya, Kamis (15/2/2024).

Menurutnya, mencalonkan diri tanpa modal yang memadai, hampir bisa dipastikan akan sia-sia saja. Pemilih sekarang harus dibeli suaranya. Jika tidak, mereka bahkan rela untuk golput atau tidak menggunakan hak memilihnya.

“Maka jangan heran jika sosok yang terpilih adalah mereka yang tebal modalnya. Bukan lagi ditakar dari seberapa berkualitas dia atau bagaimana rekam jejaknya. Politik sekarang sudah kental sekali kesan transaksionalnya. Ada uang bisa beli kursi,” cetus Caleg yang mengklaim sudah memperoleh 700 suara via hitung cepat itu.

Terkait hal ini, pengamat politik lokal di PALI, J Sadewo SH MH, menilai bahwa terjadi kemunduran yang signifikan dalam kehidupan berdemokrasi kita. Pemilu yang semestinya harus JURDIL jadi ternodai. Selain itu, sosok pemimpin yang diharapkan akan amanah dan berintegritas sebagai wakil rakyat jadi diragukan kapabilitasnya.

“Banyak politisi karbitan, minim gagasan. Tetapi mereka punya uang, dan akhirnya terpilih. Sementara kandidat yang berkualitas namun tak ada modal, tersisihkan. Inilah imbas politik uang yang massif,” cetus Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PALI itu.

Mada Sukmajati, dosen Ilmu Politik Fisipol Universitas Gadjah Mada, mengatakan, kurangnya pemahaman masyarakat terkait dengan batasan praktik politik uang dan bahaya yang ditimbulkannya menjadi salah satu penyebab berkembangnya praktik politik uang di Indonesia.

“Kondisi tersebut diperparah dengan sistem hukum Indonesia yang seolah tidak mampu menjerat praktik politik uang. Untuk itu pendidikan pemilih penting dilakukan untuk meng-counter praktik politik uang di Indonesia,” tuturnya.

Setidaknya ada tiga faktor penyebab terjadinya politik uang, selain faktor ekonomi, antara lain:

Faktor politik: Politik uang terjadi karena calon legislatif hanya ingin menang tetapi tidak memiliki program, sedangkan partai politik sebatas membantu pencalonan saja.

Faktor hukum: Lemahnya regulasi tentang politik uang. Seakan sulit sekali menjerat para pelaku politik uang.

Faktor budaya: Ada kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia, yakni tidak pantas jika menolak pemberian dan terbiasa membalas pemberian. Instrumen kultural ini dimanfaatkan oleh politisi untuk menjalankan politik uang.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, mengatakan penyebab politik uang masih terus terjadi karena 50 persen masyarakat Indonesia belum sejahtera dan lebih dari 50 persen dengan tingkat pendidikannya belum baik.

Kondisi kesejahteraan masyarakat yang masih rendah dapat menyebabkan banyaknya masyarakat yang menerima politik uang karena dianggap sebagai rezeki. Padahal, uang yang dibagikan dalam serangan fajar bisa saja hasil korupsi.[red]

BERITA LAINNYA

56006 Kali9 Elemen Jurnalisme Plus Elemen ke-10 dari Bill Kovach

ADA sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap [...]

25 Maret 2021

26650 KaliHore! Honorer Lulusan SMA Bisa Ikut Seleksi PPPK 2024

Kabarpali.com - Informasi menarik dan angin segar datang dari Kementerian [...]

09 Januari 2024

20570 KaliIni Dasar Hukum Kenapa Pemborong Harus Pasang Papan Proyek

PEMBANGUNAN infrastruktur fisik di era reformasi dan otonomi daerah dewasa ini [...]

30 Juli 2019

20482 KaliWarga PALI Heboh, ditemukan Bekas Jejak Kaki Berukuran Raksasa

Penukal [kabarpali.com] – Warga Desa Babat Kecamatan Penukal [...]

18 Agustus 2020

19299 KaliFenomena Apa? Puluhan Gajah Liar di PALI Mulai Turun ke Jalan

PALI [kabarpali.com] - Ulah sekumpulan satwa bertubuh besar mendadak [...]

15 Desember 2019

PALI [kabarpali.com] - Usai perhelatan pesta demokrasi di Indonesia, 14 Februari 2024 kemarin, berbagai cerita mengemuka. Baik kisah indah, maupun yang tercatat sebagai cela. Termasuk tentang politik uang yang disebut-sebut kian membuat bulu kuduk merinding. Ngeri sekali.

Ya.. politik uang yang digadang-gadang akan terus diperangi oleh penyelenggara maupun pengawas pemilu, justru nampak makin vulgar dan terang-terangan di lakukan oleh peserta pemilu. Hal itu dianggap sudah merupakan hal biasa dan bagian dari budaya.

Di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) Provinsi Sumatera Selatan, puluhan milyar rupiah diprediksi mengalir di tengah masyarakat. Indikatornya, minimal dua caleg hampir di tiap partai menggelontorkan ongkos politik antara Rp500 juta hingga Rp3 milyar. Kejadian serupa, juga mungkin terjadi di wilayah lainnya.

Pengamatan media ini, uang itu tak hanya digunakan untuk biaya belanja Alat Peraga Kampanye (APK) saja, tetapi juga untuk memberi ‘saweran’ pada calon pemilih di tiap Daerah Pemilihannya (Dapil). Nominal sawerannya antara Rp200 ribu hingga Rp600 ribu per mata pilih.

Politik uang yang terjadi sesungguhnya bukanlah menjadi prihal rahasia lagi. Setiap orang nyaris memberi kesan permisif, memaklumi dan menganggap sesuatu yang lumrah saja. Dukungan dan restu pemilih sangat ditentukan oleh seberapa besar peserta pemilu bisa memberi saweran pada mereka.

“Untuk menargetkan perolehan suara 1000 orang, setidaknya kita harus ‘menembak’ 2500 pemilih. Margin errornya memang sangat tinggi. Bisa lebih 50%,” cetus salah satu Calon Legislatif, yang tak bersedia menyebutkan identitasnya, Kamis (15/2/2024).

Menurutnya, mencalonkan diri tanpa modal yang memadai, hampir bisa dipastikan akan sia-sia saja. Pemilih sekarang harus dibeli suaranya. Jika tidak, mereka bahkan rela untuk golput atau tidak menggunakan hak memilihnya.

“Maka jangan heran jika sosok yang terpilih adalah mereka yang tebal modalnya. Bukan lagi ditakar dari seberapa berkualitas dia atau bagaimana rekam jejaknya. Politik sekarang sudah kental sekali kesan transaksionalnya. Ada uang bisa beli kursi,” cetus Caleg yang mengklaim sudah memperoleh 700 suara via hitung cepat itu.

Terkait hal ini, pengamat politik lokal di PALI, J Sadewo SH MH, menilai bahwa terjadi kemunduran yang signifikan dalam kehidupan berdemokrasi kita. Pemilu yang semestinya harus JURDIL jadi ternodai. Selain itu, sosok pemimpin yang diharapkan akan amanah dan berintegritas sebagai wakil rakyat jadi diragukan kapabilitasnya.

“Banyak politisi karbitan, minim gagasan. Tetapi mereka punya uang, dan akhirnya terpilih. Sementara kandidat yang berkualitas namun tak ada modal, tersisihkan. Inilah imbas politik uang yang massif,” cetus Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PALI itu.

Mada Sukmajati, dosen Ilmu Politik Fisipol Universitas Gadjah Mada, mengatakan, kurangnya pemahaman masyarakat terkait dengan batasan praktik politik uang dan bahaya yang ditimbulkannya menjadi salah satu penyebab berkembangnya praktik politik uang di Indonesia.

“Kondisi tersebut diperparah dengan sistem hukum Indonesia yang seolah tidak mampu menjerat praktik politik uang. Untuk itu pendidikan pemilih penting dilakukan untuk meng-counter praktik politik uang di Indonesia,” tuturnya.

Setidaknya ada tiga faktor penyebab terjadinya politik uang, selain faktor ekonomi, antara lain:

Faktor politik: Politik uang terjadi karena calon legislatif hanya ingin menang tetapi tidak memiliki program, sedangkan partai politik sebatas membantu pencalonan saja.

Faktor hukum: Lemahnya regulasi tentang politik uang. Seakan sulit sekali menjerat para pelaku politik uang.

Faktor budaya: Ada kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia, yakni tidak pantas jika menolak pemberian dan terbiasa membalas pemberian. Instrumen kultural ini dimanfaatkan oleh politisi untuk menjalankan politik uang.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, mengatakan penyebab politik uang masih terus terjadi karena 50 persen masyarakat Indonesia belum sejahtera dan lebih dari 50 persen dengan tingkat pendidikannya belum baik.

Kondisi kesejahteraan masyarakat yang masih rendah dapat menyebabkan banyaknya masyarakat yang menerima politik uang karena dianggap sebagai rezeki. Padahal, uang yang dibagikan dalam serangan fajar bisa saja hasil korupsi.[red]

BERITA TERKAIT

Kurangi Pengangguran, Jika Terpilih H Asri - Irwan akan Bangun BLK di PALI

12 September 2024 267

PALI [kabarpali.com] - Paslon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Penukal Abab [...]

Kenapa Wartawan Jangan Berpolitik? Ini Dasarnya..

05 September 2024 280

Di Indonesia, tidak ada undang-undang yang secara eksplisit melarang wartawan [...]

Musim Pilkada : Demi Kepentingan Publik, Wartawan Jangan Berpolitik

05 September 2024 750

Memasuki musim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024, tensi politik [...]

close button