Restorative Justice : Zaman Sekarang, Manusia Makin Sulit "Berasan"?
Seiring waktu, ketika peradaban manusia kian maju. Teknologi komunikasi yang makin mutakhir. Perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang begitu pesat, egosentris manusia juga terus mengental. Kehidupan sosial terasa begitu individualis.
Jika dibandingkan dahulu, setidaknya 25 tahun silam, misalnya, dimana "berasan" atau penyelesaian persoalan secara kekeluargaan masih membudaya, di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) khususnya, dan di Sumatera Selatan atau di Indonesia pada umumnya, tak ada masalah sosial yang tiada solusi. Tak ada persoalan kecil yang menjadi besar, dan tak ada sengkarut masalah yang tak terurai.
Alkisah, jika ada rumah yang dibobol maling, harta benda yang dibawa serta. Si maling yang kemudian ketahuan, bisa mengajukan perdamaian. Dengan membawa "gula kopi", keluarganya mendatangi korban. Meminta maaf, mengembalikan kerugian dan "berasan".
Begitu juga, bila terjadi perkelahian. Seseorang dipukuli orang lainnya. Atau penganiayaan. Sehingga luka-luka, bahkan meregang nyawa. Keluarga pelaku "ngatur kesalahan". Sembah sujud mohon permaafan. Berasan. Lalu mereka "angkan-angkanan". Bersumpah menjadi satu keluarga. Selamanya. Saling bantu dalam musibah, dan dalam prihal bahagia.
Begitulah dahulu. Tak ada persoalan yang tak selesai. Win-win solution, secara berkeadilan. Ketika hukum adat masih dijunjung. Mengesampingkan hukum positif warisan penjajah. Azas legalitas yang penafsirannya terkadang hanya condong pada kepastian hukum. Namun mengabaikan rasa keadilan dan kemanfaatan.
Zaman sekarang. Maling yang hanya berdampak kerugian sekian puluh ribu, atau sekian ratus ribu, yang mencuri hanya untuk makan. Atau butuh biaya karena istri mau melahirkan. Bisa dihukum bertahun-tahun. Atau perkara tipu menipu. Dan lain-lain. Nilai maaf bisa jadi amat mahal, dan langka pula.
Kini, orang-orang tak lagi mudah berempati. Hati nurani makin bebal. Rasa iba tambah dangkal. Ego lebih penting dari nilai-nilai kemanusiaan. Maka budaya berasan jadi hal yang nyaris mustahil.
Lalu siapakah yang bisa hadir, membawa kembali angin segar perdamaian yang telah lama hilang. Apakah Aparat Penegak Hukum (APH), dengan Restorative Justice yang disingkat RJ (keadilan restoratif)? Efektifkah? Bagaimana implementasi di lapangan?
Mengenai hal ini, negara telah menyediakan perangkat aturan yang meminta APH sebagai eksekutornya. Ada Surat Edaran Kapolri No. SE/8/VII/2018 Tahun 2018, Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021, Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020, hingga Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) MA Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), serta aturan lainnya yang relevan dengan pelaksanaan keadilan restoratif. Semuanya berujung pada nilai-nilai kemanusiaan, untuk menciptakan keadilan yang berkepastian hukum dan berkemanfaatan.
Tetapi, praktek di lapangan masih tak seindah teori. Ada berapa banyak kasus yang bisa diselesaikan dengan RJ dari total sekian kasus. Baik di tingkat penyelidikan-penyidikan (polisi), maupun di tingkat penuntutan (jaksa), atau di tingkat persidangan (hakim)?
Apa kendalanya? Apakah para pihak yang bersikukuh mempertahankan kehendak pribadi, atau adanya oknum aparat yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Mencari untung lebih, sehingga membuat persoalan kian pelik? Misalnya SP3 atau P21 jadi barang jualan? Bagi para pihak yang pernah berperkara, tentu tak sulit menjawabnya.
Meski demikian, tentu butuh keseriusan untuk mewujudkan keadilan berdasarkan hati nurani tersebut. Inisiatif berasan atau berdamai harus digaungkan oleh para pihak. APH sebagai pelayan, pengayom masyarakat, dan sekaligus eksekutor regulasi, merupakan refresentasi "Tuhan" di dunia. Nasib orang berperkara ada di tangannya. Jangan permainkan kasus. Persoalan besar harus dikecilkan, yang bengkok diluruskan dan kekusutan harus diurai.
Para pihak berperkara juga harus mereduksi egoisme. Mengalah untuk menang. Menyelesaikan masalah tanpa masalah. Menumbuhkan empati, rasa kemanusiaan dari hati nurani sebagai insan kamil yang hakiki.
Karena jika tidak, budaya berasan di Kabupaten PALI, yang lalu sekarang disebut Restorative Justice atau RJ, hanya akan menjadi aturan yang simbolik saja. Lalu, tetap saja, hukum bisa dipermainkan secara brutal. Sekehendak hati yang ber-uang. RJ dikamuflase. Dan keadilan tak pernah akan dicapai, sebagaimana budaya "berasan" dahulu kala.**
Penulis : Advokat J. Sadewo, S.H.,M.H. (Ketua LBH PALI; Praktisi Hukum, tinggal di Kab. PALI)