Isu Politik Uang di PALI Berhembus Kencang, dari Rp500K hingga Rp1Juta Per kepala
PALI [kabarpali.com] - Penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), saat ini telah sampai pada tahapan kampanye para Paslon Bupati Wakil Bupati. Meski begitu, isu-isu mengenai politik uang telah merebak kian kencang di tengah masyarakat.
Paradigma politik uang yang sesungguhnya telah menjadi rahasia umum, kini mulai dibincangkan Masyarakat Bumi Serepat Serasan. Meski secara berbisik-bisik, atau pada obrolan terbatas, mereka tak canggung mengatakan bahwa penentu kemenangan para kandidat adalah pada seberapa kuat daya serang logistik (uang) mereka.
Satu hal yang memprihatinkan dari desas desus itu, beberapa calon pemilih pun sepertinya justru berharap agar suara mereka memang dibeli. Bargaining para paslon yang "biasa" saja, elektabilitas yang tidak berbeda terlampau jauh antara satu dengan yang lain, dikatakan harus "difinishing" secara transaksional.
"Kalau ditanya siapa yang kuat di tengah masyarakat, jawabannya hampir sama. Tinggal 'tembakannye' tulah yang jadi penentu," ungkap seorang warga Penukal, Jumat siang (11/10/2024).
Pria yang tak bersedia namanya ditulis itu, bahkan mengatakan sudah menjadi tradisi baru, bila masyarakat tidak akan memilih jika tak ada yang menembak mereka (memberi uang.red) pada kontestasi politik seperti ini.
"Aii, aman dak dinjuk sen, ilok mantang bae. Kitek nih ndorong wang ndak jadi raje. Ketike la tepeleh agik, kepunan ade ingat dengan tobo," celetuknya dalam bahasa setempat.
Berkaca pada Pemilihan Legislatif (Pileg) di PALI belum lama ini, ia memprediksi nilai sogokan untuk memilih itu akan berada pada rentang Rp500 ribu hingga Rp1 iuta per kepala. Namun, nominalnya akan bervariasi sesuai dengan seberapa ketat persaingan memperebutkan suara di suatu daerah pemilihan.
"Bisa saja sampe 1 juta per kepala. Sebab pada Pileg lalu juga begitu" imbuhnya.
Menanggapi isu ini, Ketua Forum Masyarakat Bumi Serepat Serasan (Formas Busser) Rully Pabendra, mengatakan bahwa begitulah paradigma yang terjadi saat ini. Mau diakui atau tidak, secara jujur, politik uang seakan telah jadi budaya di tengah masyarakat PALI.
"Sudah jadi rahasia umum. Masyarakat tak malu-malu lagi menerima uang untuk diarahkan memilih kandidat tertentu. Ini adalah degradasi moral bangsa kita," tuturnya, Sabtu pagi (12/10/2024).
Tak hanya masyarakat dijadikan komoditas politik. Kandidat suatu kontestasi politik pun menyambut baik hal itu. Seakan gayung bersambut, mereka yang minim prestasi, rekam jejak buruk, yakin bisa dengan mudah menang hanya bermodalkan materi semata.
"Salah satu dampak negatif dari politik uang adalah kita akan dipimpin oleh penguasa yang meterialistis. Tak punya gagasan, korup, motivasinya hanya memperoleh keuntungan semata. Ini juga jadi salah satu faktor suatu daerah lambat maju," tukasnya.
Maka, ia berharap ada semacam edukasi politik yang dilakukan secara massif dan berkesinambungan terhadap masyarakat di PALI, agar politik uang setidaknya bisa diminimalisir. Hal semacam itu tentu menjadi leading sector Penyelenggara dan Pengawas Pemilu yang punya fasilitas dan anggaran.
"Kalau ada pembiaran, tentu politik uang akan berkembang dan menjadi budaya buruk yang kian sulit dihilangkan dari perangai masyarakat PALI ini," pungkasnya.[red]