Pesta Demokrasi yang "Sepi"
Oleh Redaksi KABARPALI
ilustrasi/net/josa
Pemilu dikenal juga dengan sebutan pesta demokrasi. Hajatan besar milik rakyat untuk menentukan titik awal perubahan bernegara menjadi lebih baik.
Layaknya menyambut sebuah pesta. Mestinya semua merasa senang. Riang gembira, menyongsong akan dipertunjukkan beragam pentas, yang menebarkan semangat positif dan penghiburan.
Tetapi, menyambut pesta demokrasi 2024, Pemilu serentak pertama sepanjang sejarah Indonesia, rakyat seakan tak menunjukkan ketertarikan dan kegembiraannya lagi.
Dari fenomena itu, patutlah dipertanyakan, apakah benar karena rasa pesimisme (putus asa) yang berlebihan, menjadikan rakyat kini jadi dilingkupi apatisme (masa bodoh; acuh) yang berkelanjutan?
Dari catatan sejarah, sejak Pemilu pertama 1955 hingga kini, riuh dan gegap gempita rakyat dalam menyongsong Pemilu, pernah terlihat secara nyata pada momentum pesta demokrasi 2004. Kala itu, secara psikologis, tumbangnya rezim orba, dan merebaknya harapan reformasi yang memupuk antusiasme demokrasi, sontak menebarkan harapan baru.
Rakyat bersukacita. Bagai ayam yang dikeluarkan dari kandangnya, atau bak kambing ternak yang dilepas tali gembala. Dilibatkan secara langsung untuk memilih pemimpinnya, demokrasi yang disebut-sebut sebagai identitas bangsa selama ini, seakan nyata dan bukan lagi sekedar mimpi indah.
Tetapi, kenapa sekarang rakyat tiba-tiba acuh tak acuh dan meredup semangatnya?
Apakah karena kebanyakan para pemimpin kita nyaris semua tak lagi bisa dipercaya. Apakah para politisi tak lagi mempertunjukkan pentas yang menebarkan semangat positif dan penghiburan. Apakah karena tagline, motto, atau slogan institusi penyelenggara pemilu, dianggap hanya kamuflase program untuk menyerap anggaran yang disebut terbesar sepanjang sejarah Pemilu di negeri ini, semata?
Politik kita sedang tidak baik-baik saja?
Merenungkan prihal ini, Saya teringat salah satu pengusaha nasional -- pemilik Trans grup -- Chairul Tanjung, pernah mengatakan bahwa "politik itu lebih dekat kepada neraka!". Politik yang sedianya adalah suci, telah terkontaminasi dan menjadi tak lagi bersih.
Maka, nyaris selalu terjadi, bila orang baik masuk ke ranah politik, ia berpotensi berubah menjadi orang jahat. Karena sulit sekali ditemukan, orang jahat yang masuk politik, justru bertransformasi menjadi orang baik.
Penyebabnya, karena sistem politik kita telah menjadi seperti benang kusut. Sulit sekali diurai. Konflik kepentingan telah menyandera niat suci jadi tak bisa lagi bersih.
Matrialistiknya politik di Indonesia telah membuat produk demokrasi seperti komoditas dagangan. Nuansa transaksional sudah bukan rahasia lagi. Mahar dukungan partai, jual beli suara pemilih, dramatisir hukum politik, semua demi merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Oleh karena itu, bisa jadi sistem politik jahat inilah yang menjadi musabab meredupnya semangat rakyat untuk berpesta. Mereka seakan hanya nyaman di belakang panggung. Sembari menyeruput minuman dan mengunyah cemilan. Tak peduli, siapa yang akan tampil dan apa yang akan ditampilkan. Toh, pertunjukkan itu tak lagi menarik hati.
Meski demikian, semangat optimisme haruslah terus digaungkan dengan keras dan berkesinambungan. Kegembiraan itu haruslah dibakar hingga menyala-nyala.
Meski agak naif memang. Tetapi, sebuah pesta haruslah selalu meriah.
____________
J. Sadewo (penonton pesta)
Pendopo - PALI | Kamis, 12/10/2023 | pukul 02.35 WIB.