Penguasa – Pengusaha Demokrasi nan Feodal
*) Joko Sadewo,SH
INDONESIA pernah dijajah selama 350 tahun. Satu abad setengah, atau empat generasi. Bayangkan, nenek moyang kita dulu dari lahir sampai mati, banyak yang sama sekali tidak pernah merasakan alam kemerdekaan. Bahkan mungkin tidak tahu, seperti apa yang namanya merdeka itu.
Secara turun temurun, mereka terdoktrin hidup sebagai budak. Penguasa bagai Tuhan. Mereka harus mengabdi lahir bathin. Menentang berarti sudah bosan hidup.
Akibatnya, rakyat Indonesia menjadi terbiasa terjajah. Bahkan menikmati penindasan yang mereka terima. Legowo (lapang dada) hidup dalam penderitaan. Pemberontak di pandang aneh. Penderita kelainan yang harus dimusnahkan. Sebelum menular pada yang lainnya.
Pembodohan - pembodohan terkadang sengaja diciptakan penguasa pada zamannya, untuk meredam gejolak di tengah masyarakat. Melahirkan kerangka berfikir yang kolot. Sempit!! Itulah yang saya sebut feodalisme.
Lalu sesudah merdeka, pola berfikir yang sama masih saja kerap muncul. Pembodohan-pembodohan masih sering diterima rakyat kecil. Alasan logis dipaparkan seolah mereka sempurna. Merdeka, demokrasi yang feodal!
Terkini, berseliweran hot topic tentang Rancangan KUHP yang terselip pasal penghinaan kepala Negara. Presiden dikatakan sebagai simbol Negara yang suci. Tak boleh dicela. Katanya, khawatir Negara akan dipandang rendah.
Kontroversi pun bertebaran. Soal overlapping regulasi, multitafsir makna, inkonstitusional, mencederai demokrasi, sampai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Semua masih berjalan..
Di sisi lain, masih rentan pihak swasta (pengusaha) yang berkuasa pun demikian. Para pemodal yang mencari keuntungan di antara kehidupan rakyat mencari makan. Bersahabat dengan penguasa, setali tiga uang. Kapitalis yang feodalis.
Di Kabupaten PALI. Pada eranya merupakan ladang minyak dan gas. Salah satu primadona di dunia. Siapa tidak kenal dengan Talang Akar? Di sana, pernah tak terhitung berapa juta barel minyak yang disedot mereka.
Stanvac Airport, Lapangan Golf, Komplek perumahaan mewah, gedung-gedung megah, adalah sisa kejayaan investor asing yang berkutat di sana. Lalu apa yang didapat warga? Talang Akar tinggal kenangan saja.
Di alam yang sudah merdeka ini. Meski pola berfikir feodalis nan kolot masih melekat pada rakyat. Hendaknya penguasa dan pengusaha tak bersikap opportunis. Cukup sudah penjajahan. Baik terang terangan, maupun by design.
Saya pun lalu terpaku, pada kata-kata Bung Karno ; "Perjuanganku belumlah berat, karena musuhku dari bangsa asing. Namun perjuanganmu akan lebih berat, karena musuhmu dari bangsamu sendiri". [penulis adalah orang kampung]