Jika Bukan Pers, Siapa Lagi?
*) oleh ; Joko Sadewo, SH
KEMAREN, 9 Februari 2018 merupakan Hari Pers Nasional (HPN). Ratusan jurnalis dari berbagai media di penjuru nusantara berkumpul di Padang, Sumatera Barat. Tak terkecuali presiden RI ; Ir Joko Widodo, dan jajaran kabinetnya.
Meski tak ikut bereuforia di sana, saya yang baru sekitar 13 tahun menggeluti dunia jurnalistik, ikut bahagia. Sebab, profesi saya ternyata di anggap masih ada. Masih dibutuhkan oleh negeri yang demikian plural ini.
Dulu, ketika era orde baru masih berkuasa. Kehidupan pers belumlah se-semarak sekarang. Hanya pihak tertentu sajalah yang paling membutuhkan. Terutama penguasa. Jumlah media massa barulah segelintir. Itu pun di bawah kendali pemerintah.
Untuk mendirikan media bukanlah perkara yang mudah. Lewat Menteri Penerangan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) haruslah dikantongi terlebih dahulu, baru media bisa terbit. Itu pun dapat dicabut kapan saja, jika berita dinilai menyudutkan pemerintah.
Benar-benar ketat dan dikekang. Tak hanya izin dicabut. Pemimpin redaksi sebuah media bisa saja digiring ke penjara, hanya jika berita tak menguntungkan penguasa.
Semenjak pecah reformasi, medio 1998, aturan pendirian media massa berubah. Pengekangan pers dipandang mencederai demokrasi. Tak perlu SIUPP, perusahaan pers cukup memiliki legalitas seperti perusahaan umum lainnya, sudah bisa menerbitkan media massa.
Akibatnya, media massa beragam format tumbuh bak cendawan di musim penghujan. Di tambah perkembangan tehnologi informasi (IT), lahirlah format baru berbentuk media online (berbasis jaringan internet).
Kran media yang dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah, telah memberikan angin segar pada suasana demokrasi negeri ini. Masyarakat yang tadinya memiliki sedikit saluran untuk berekpresi dan mengemukakan pendapat, kini bebas memilih media untuk mereka bersuara. Kemerdekaan pers yang diidam-idamkan telah tiba.
Namun, imbas negative juga tak lepas dari pertumbuhan dan perkembangan sejarah pers di Indonesia. persaingan yang ketat akibat riuhnya kehadiran beragam media baru, telah membuat media kerap melupakan tujuan mulianya.
Kebutuhan biaya operasional yang tinggi, serta tekanan profit oriented dari pemodal, kerap memaksa sebuah media masuk dalam pusaran kepentingan politik tertentu. Jika demikian, independensinya pun tumbang sudah.
Maka, pers sebagai pilar keempat demokrasi, mengemban tanggung jawab moril yang besar pada masyarakat. Ketika tiga pilar lainnya (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) tak lagi berhasil merebut kepercayaan rakyat, pers hendaknya bisa menjadi pengobat rindu pada sebuah kebenaran.
Mengutip kalimat Pemimpin Redaksi TVOne ; Dr Karni Ilyas ; “Jika ketiga pilar (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) tidak bisa lagi saling mengawasi, maka pers akan mengawasi ketiganya!”. Jika bukan PERS, siapa lagi?? Selamat Hari Pers Nasional 2018!! Jayalah profesiku!!. [penulis adalah kuli di PALI POST-kabarpali.com]