Tukang Kritik itu Aset Demokrasi. Perlu dilestarikan!
NEGARA Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara demokrasi. Negara yang (teorinya) menjalankan roda pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Ilmu pengetahuan menyangkut hal ihwal demokrasi dipelajari dari tingkat pendidikan sekolah dasar, hingga perguruan tinggi. Bahkan, ketika hendak melamar pekerjaan sebagai amtenar (Aparatur Sipil Negara) atau jabatan swasta sekalipun, tak jarang materi demokrasi, menjadi mata uji yang jadi pertimbangan seleksi.
Pada 17 Agustus 2023 - tahun ini, Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-78 tahun. Maka negeri yang konon disebut “gemah ripah loh jinawi” ini, bisa dikatakan – semestinya - sudah sepuh dan matang dalam berdemokrasi. Meski kenyataannya, demokrasi baru benar-benar diakui eksistensinya pasca reformasi tahun 1998 -- 25 tahun lalu.
Sebelumnya: sejak era orde lama hingga orde baru, demokrasi baru dirasakan sekedar slogan yang dalam prakteknya jauh panggang dari api. Penguasa terlalu sensitif masukan rakyat. Tak terhitung berapa tokoh yang vokal meneriakkan aspirasi publik justru dipenjarakan, dibunuh atau bahkan hilang tanpa jejak. Sebut saja Widji Tukul, Marsinah, Munir, dll. Kebenaran dikebiri, oposisi terhadap kebijakan pemerintah dianggap musuh yang harus dimusnahkan. Maka semangat demokrasi tenggelam oleh nuansa otoritarian penguasa, kala itu.
Lalu bagaimana hari ini?
Perubahan signifikan tentu terjadi. Hal yang kontras, salah satunya adalah adanya kebebasan pers yang diberikan rezim BJ. Habibie, sebagai presiden. Saat itu, Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, lahir. Syarat pendirian penerbitan media massa, berupa Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang sebelumnya dikeluarkan oleh Menteri Penerangan (Menpan), dihapus. Maka setiap warga negara boleh mendirikan media massa dengan persyaratan yang mudah. Sama seperti pendirian badan usaha lainnya. Kemudian, yang paling penting, tak ada lagi kekhawatiran media akan dibredel oleh pemerintah, dengan cara mencabut SIUPP-nya.
Kebebasan Pers jadi hal yang sangat krusial dan fundamental di negara yang menyebut dirinya berdemokrasi. Melalui pers, rakyat memiliki corong dan saluran untuk bersuara, secara independen dan objektif. Meski faktanya, pers juga kemudian lebih rentan memiliki muatan kepentingan politis, karena pemiliknya adalah para politisi. Sedang yang lainnya juga cenderung condong pada penguasa, tergiur iming-iming anggaran iklan, yang bersumber dari APBD atau APBN. Maka jadilah segala kepentingan politik bisa diframing sedemikian rupa. Aspirasi rakyat yang tak populer bisa menguap, kemudian raib ditiup angin lalu.
Selain daripada itu, perkembangan tehnologi komunikasi dan informasi yang pesat, juga memberikan dampak positif bagi demokrasi, hari ini. Beragam platform media sosial yang begitu mudah diakses, seakan menjadi saluran yang paling ekonomis, cepat dan efisien untuk bersuara di ruang publik. Semua orang bisa bebas mengemukakan pendapat. Walau kemudian, instrumen regulasi yang mengatur hal itu pun lahir semakin kompleks dan menjadi pembatas kebebasan, bahkan cenderung disalah tafsirkan sebagai alat pengekang kebebasan untuk mengkritisi penguasa.
Oleh karenanya, rakyat yang seakan sudah terdoktrin oleh rasa ketakutan-ketakutan untuk bersuara sejak era penjajah, orde lama dan orde baru, lebih nyaman diam. Mereka beranggapan: terlalu lantang mengemukakan pendapat bisa berisiko berurusan dengan hukum; melawan penguasa sama saja memberikan leher untuk dipenggal. Sudah banyak contohnya. Maka pilihannya adalah lebih baik bungkam, pasrah dengan keadaan. Sembari berharap ada yang muncul dengan gagah berani, menyuarakan aspirasi mereka, agar menjadi koreksi bagi kebijakan penguasa.
Karena dipandang berisiko juga, tak banyak yang memilih jalan menjadi tukang kritik. Pengkritisi kerap dipandang sebagai orang yang suka membuka aib orang lain, iri dengki, bagian dari barisan sakit hati, bahkan dicap stres dan menderita gangguan jiwa. Sebab, mereka berani keluar dari zona zaman; sanggup ber-oposisi dengan penguasa, siap berurusan dengan hukum, bisa dituduh menyebarkan fitnah, penghinaan, pembohongan publik, hoax, dan/atau menyebabkan gejolak sosial. Padahal, bisa jadi mereka hanya ingin menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadinya.
Sebaliknya, bila memilih jalan sebagai pemuja dan pemuji penguasa, bagian dari tim pembela atau buzzer, bukan tidak mungkin hidupnya akan sejahtera. Bila penguasa senang, kita bisa diganjar dengan jabatan, atau upah berupa proyek. Meski kenyataannya, ada juga yang tak dapat apa-apa, tetapi kadung malu untuk mengeluh.
Sungguh tak bisa dibayangkan, bila tak ada pengkiritisi. Semuanya senada; memuja dan memuji. Sedang kritisi bak rambu-rambu. Ia menjadi pengingat, warning atau alarm bila langkah mulai keluar dari jalur-nya. Kritik seperti jamu atau obat, rasanya pahit tapi menyehatkan. Sedang pujian ibarat gula yang manis, bisa menimbulkan penyakit bila dikonsumsi kebanyakan. Kritik dapat memotivasi kita untuk evaluasi, muhasabah diri agar kembali menjadi benar.
Lalu, bagaimana dengan DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Bukankan mereka adalah representasi keterwakilan rakyat dalam menentukan kebijakan bernegara? Aah.. sekali lagi betul juga begitu teorinya. Namun praktiknya, kita semua mahfum. Wakil rakyat yang duduk manis di lembaga legislatif itu adalah orang politik, kader partai. Dengan beralasan kolektif kolegial, suara mereka lebih dominan ditentukan kepentingan partai dan golongan. Ini juga sudah menjadi rahasia umum. Maka, publik seakan sudah krisis kepercayaan untuk menyandarkan harapan satu-satunya pada para legislator. Oleh karenanya, kita membutuhkan banyak tukang kritik. Orang-orang yang tak punya kepentingan personal, objektif dan merdeka bersuara, untuk menjaga eksistensi demokrasi.
Bila kita bermimpi, demokrasi dapat tumbuh subur dan lestari di negeri ini, maka kita membutuhkan tokoh-tokoh yang bersedia menjadi corong dalam menyuarakan kebenaran, aspiratif, dan independen. Orang-orang yang tak pernah bosan untuk lantang menyuarakan kepentingan publik, tak jemu-jemu mengkritisi dan mengoreksi kebijakan penguasa, yang bisa saja tak berpihak pada kemaslahatan rakyat. Lalu, hendaknya pemerintah (penguasa,red) juga mesti legowo membuka mata, telinga dan hati nuraninya. Tak marah bila dikoreksi, lapang dada dikritisi, dan bijak memperbaiki diri. Bukankah jabatan adalah amanah yang akan dipertanggung jawabkan, di dunia dan akherat kelak?
Maka, dapatlah dikatakan bahwa tukang kritik adalah aset demokrasi yang harus dilestarikan. ia menjadi katalisator kentalnya kepentingan-kepentingan politik para penguasa yang rentan mengesampingkan kepentingan rakyat. Ia adalah implementasi dari esensi demokrasi yang dikatakan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Merdekalah bersuara, merdekalah para tukang kritik!!**
Penulis adalah Joko Sadewo,S.H.,M.H. (Pengamat kebijakan publik, Tukang kritik)