Lebih Dari Sekadar Viral: Pemolisian Partisipatif
Ramai di media sosial dalam dua tahun belakangan ini tagar #percumalaporpolisi dan juga premis no viral, no justice. Kalau tidak viral, maka keadilan tidak tercapai. Dua konteks ini secara langsung menyindir polisi, bahwa kalau tidak ramai atau viral terlebih dahulu, maka tidak direspons. Dari sudut pandang polisi yang berusaha memahami psikologi masyarakat, maka dapat dikatakan fair enough, premisnya cukup adil.
Mengapa adil? Mari kita jawab dari setidaknya dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama, menggunakan kacamata sosiologi kepolisian. Sosiolog kepolisian dari Amerika yang Bernama Egon Bittner menyampaikan bahwa kepolisian merupakan institusi publik yang paling dikenal dan di saat yang sama, paling tidak dipahami. Tidak diragukan bahwa setiap orang mampu mengenali anggota kepolisian, kantornya, seragamnya, mobilnya, bahkan pada saat tertentu, perawakannya. Akan tetapi tidak semua orang paham mengenai fungsi dan tugas kepolisian.
Contoh kasus yang terakhir ini viral dan jadi bahan perbincangan di Twitterland melalui akun @partaisocmed, @mazzini_gsp, @kurawa, dan beberapa akun lainnya menunjukkan adanya jarak pemahaman terkait kehendak masyarakat dan fungsi kepolisian. Bahwa beberapa kasus tersebut tidak serta merta dilakukan langkah langkah pemolisian dan penegakan hukum karena memang adanya kekurangan administrasi dan keterangan pihak-pihak yang akhirnya dapat menjadi alat bukti serta memberikan kewenangan institusi Polri untuk bertindak.
Sudut pandang kedua adalah keterbatasan organisasional. Premis yang selalu melekat pada setiap organisasi publik adalah sumber daya terbatas dan tuntutan atas peran yang selalu sangat tinggi. Tuntutan itu memang dan sudah sewajarnya tinggi, Polri adalah organisasi yang memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat. Di saat yang sama, kami menyadari adanya keterbatasan sumber daya dalam melaksanakan peran kami. Tidak, sumber daya ini tidak serta merta terkait anggaran, tapi terkait juga dengan kemampuan kami melakukan pengawasan dan selalu berada di tengah masyarakat serta melakukan respons dengan cepat.
Lalu bagaimana memperkecil gap ini? Polri merumuskan konsep pemolisian masyarakat (Polmas) sebagai salah satu mekanisme memperkecil gap ini. Secara umum, Polmas menghendaki kolaborasi dan partisipasi antara masyarakat dengan Polri dalam menjaga ketertiban masyarakat dan mendukung upaya penegakan hukum, tapi mekanisme Polmas ini dihadapkan juga dengan perkembangan sosial, khususnya perkembangan media sosial. Untuk menjawab hal ini, diperlukan sebuah konsep yang selangkah lebih maju dari Polmas, yaitu pemolisian partisipatif.
David Bayley, seorang ahli di bidang ilmu kepolisian, memandang bahwa partisipasi publik menjadi hal yang menjamin kesuksesan penegakan hukum.
Lebih lanjut Bayley memandang bahwa untuk menjamin keamanan di tengah masyarakat, masyarakat perlu mengorganisasi upaya keamanan lingkungan masyarakatnya sendiri dan di saat yang sama melaksanakan pemolisian masyarakat dimana masyarakat bekerja bersama kepolisian dalam sinergi dan partisipasi yang kuat.
Sebagaimana dikatakan oleh Bayley, era saat ini mendorong adanya keterbukaan dan akuntabilitas. Informasi dapat disebarluaskan dan diverifikasi dengan cepat. Proliferasi teknologi internet dan telpon selular mendorong keaktifan masyarakat untuk memastikan keamanan diri dan lingkungannya. Bahkan lebih daripada itu, untuk memastikan keamanan saudara sebangsanya di wilayah lain. Keaktifan yang terlihat dari cepatnya informasi terkait pemolisian tersebar luas di media sosial. Perubahan sosial ini menunjukkan bahwa pola Polmas tradisional yang menekankan interaksi langsung perlu mendapatkan dukungan inovasi yang baru dalam pola partisipasi masyarakat melalui pola pemolisian partisipatif.
Pada kerangka pemolisian partisipatif ini, maka 'no viral, no justice' adalah pemicu dari partisipasi masyarakat terhadap pemolisian. 'No viral, no justice' secara semantik bisa dikategorikan sebagai majas yang menjelaskan participatory policing. Sebagai majas, ungkapan itu masuk dalam kategori majas sindiran, yang di dalamnya berkembang karakter pesan ironi, sarkasme, sinisme atau satire. Bernada negatif memang, namun jika kita dalami memakai sudut pandang kredo Sutardji Calzoum Bachri 'membebaskan kata dari beban makna' akan nampak bahwa ungkapan 'no viral no justice' adalah mantra dari irama massa yang menghendaki prioritas penegakan hukum.
Selayaknya majas, ungkapan 'no viral no justice' menjadi menarik untuk mengganti penjelasan rumit soal ekosistem pemolisian yang menempatkan masyarakat sebagai bagian aktif di dalam komponen penegakan hukum, atau participatory policing tadi. Pemolisian partisipatif mengundang masyarakat untuk secara luas dan aktif melakukan mention kepada akun-akun resmi yang dimiliki Polri dan jajarannya. Melaporkan kebutuhan, melaksanakan pengawalan kinerja Polri, memberikan kritik maupun apresiasi, pemolisian partisipatif memberikan ruang untuk hal-hal tersebut.
Jika ini pendekatan baru, lalu bagaimana dengan Presisi-nya Pak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo? Pemolisian partisipatif ini sebenarnya sudah terangkum dalam visi Presisi Pak Kapolri. Presisi yang merupakan singkatan dari prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan mengandung semangat perubahan, perbaikan, dan peningkatan profesionalisme Polri yang seiring dan sejalan dengan semangat serta harapan masyarakat terhadap Polri. Pola partisipatif yang sudah ditunjukkan secara luar biasa melalui tanggapan di media sosial menjadi penyemangat bahwa visi Presisi ini sejatinya hidup di tengah-tengah semangat masyarakat.
Kami justru berharap, dengan meningkatnya partisipasi dalam pemolisian, maka visi Presisi dapat lebih cepat tercapai dan dicapai dengan solid. Jadi, jangan ragu untuk berpartisipasi aktif. Polri menunggu partisipasi masyarakat dalam kerja-kerja pemolisian dengan berpedoman pada hukum dan kebenaran.**
Penulis : Kombes Pol Dr. Ahrie Sonta N, Sekpri Kapolri. [dtk]