Jangan Bakar Lahan! = Menghanguskan Harapan?
DUA orang pria tua, berusia masing-masing 60 tahun, warga Desa Sungai Langan dan seorang pria dari Desa Air Itam Kecamatan Penukal, Kabupaten PALI, nampak murung dan pasrah pada garisan nasib buruk yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Mereka digelandang ke Rumah Tahanan (Rutan) Polres PALI, karena dipidana melakukan pembakaran lahan kebun untuk berladang (berhuma) di desa mereka.
Ketiga pria malang itu, menjadi korban tragisnya hukum positif yang mengabaikan norma-norma kearifan lokal daerah setempat.
Metode bertani atau berkebun dengan cara menebang dan membakar (slash and burn) adalah cara bertani tradisional, yang telah dilakukan secara turun temurun dari nenek moyang mereka dahulu.
Dengan luasan lahan yang terbatas (biasanya, tidak lebih dari 4 hektar) proses pembakaran dilakukan oleh banyak orang secara gotong royong. Setelah dibakar, lahan akan ditanam kembali dengan bibit karet, dengan ditumpang sari tanaman padi darat (padi gogo).
Jika tanpa pembakaran, ratusan pohon karet dan kayu keras lainnya --yang tumbang setelah di tebang, menjadi sulit untuk dibersihkan, tanpa menggunakan alat modern seperti excavator, loader, dll. Sedangkan, alat-alat berat itu adalah barang mewah yang tentu saja tak terjangkau oleh masyarakat kecil, yang hanya berjuang untuk makan.
Untuk menjerat pelaku pembakaran lahan, Pemerintah negri ini telah menyiapkan beberapa lapis regulasi dengan ancaman pidana yang tak ringan. Antara lain : Pasal 187 KUHP, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Sebagai contoh, salah satunya, Pasal 108 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan menyatakan bahwa "Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak RP 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)".
Tetapi sayangnya, norma hukum yang begitu tegas mengedepankan upaya penindakan itu, terkesan mengabaikan tindakan preventif, termasuk menyediakan solusi yang kongret dan masuk akal bagi para petani/pekebun kecil di desa-desa di pedalaman pulau Sumatera ini, dan/atau daerah lainnya di nusantara.
Pemerintah, seakan hanya berkata “Jangan!” tanpa mengatakan seperti apa dan bagaimana yang boleh. Sehingga mata pencaharian rakyatnya tidak buta, lalu bertambah miskin, kelaparan lalu mati.
Dan, orang-orang tua yang tak gesit lagi lari, ketika digrebek aparat saat membakar lahan itu, terancam mati di penjara, jika hukuman mereka diputus secara maksimal, nantinya.
Sekali lagi, sayangnya juga, suara-suara minoritas dari para petani/pekebun jelata itu tak ada yang menggaungkannya ke permukaan. Mereka sebenarnya hanya butuh SOLUSI, yang terjangkau dan masuk akal.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan “Bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Pasal 28A UUD 1945 berbunyi : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Bila saja ada jalan untuk melakukan uji materil (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi, mungkin Saya bisa menjadi salah satunya yang bersedia turut serta.**
Penulis Advokat J. Sadewo, S.H.,M.H.