Cor Beton Jalan Nan “Seksi”
BEBERAPA malam yang lalu, saya pulang. On the way dari Kota Pendopo, Talang Ubi, ke kediaman saya di Desa Purun Penukal. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 01.30 WIB. Senyap dan gulita terasa semakin syahdu dengan tetesan rintik hujan.
Sebenarnya sedikit maksa untuk pulang. Karena malam sudah demikian larut. Kalau mau, saya bisa saja istirahat di rumah saya di Grand Flamboyan, Handayani Mulia. Namun, karena sudah tak ada agenda keesokan harinya, saya memutuskan untuk pulang saja. Suasana dusun dan kehangatan keluarga selalu membuatku rindu untuk selalu berada di sana.
Badan capek, mata ngantuk. Lengkap sudah. Nyopir sendirian, saya memutar music sedemikian kencangnya. Genrenya house music, yang lebih populer disebut Remix. Alim ulama sering menjuluknya ‘musik syetan’. Karena setiap orang yang mendengar sulit untuk tidak bergoyang. Benar-benar menghipnotis. Apalagi kerap dipakai pecandu ekstasi sebagai media mabuknya.
“Ahh, saya tak perduli. yang penting dentumannya bisa membuat mata saya tetap melek sampai di dusun,” demikian fikir saya, saat itu.
Jalur tercepat, saya lewat Desa Persiapan Jerambah Besi. Meski sepi dan melintasi perkebunan, saya PD saja. Kalaupun ada yang berniat jahat untuk berbuat criminal pasti mereka juga butuh tidur. Kepalangan berbuat jahat kok mesti yang sulit-sulit. Pasti mereka berprinsip demikian, fikir saya.
Sebenarnya tidak terlalu jauh, tidak sampai satu jam sudah nyampe. Namun karena ngantuk berat, saya menahan diri untuk terlalu ngebut. Khawatir tiba-tiba mobil sudah nyeruduk batang sawit. Safety first donk!
Beberapa waktu lalu, jalan Jerambah Besi boleh dibilang sangat mulus. Hanya ada sekitar 300 meter di tiga titik yang belum tersambung cor beton. Satu titik terdapat box culvert dan dua titik ada jembatan menyeberangi sungai. Sekarang jembatan itu masih bermaterial pipa besi. Konon, karena itulah maka desa itu disebut Jerambah Besi.
Kondisi sekarang tak semulus dulu. Di beberapa bagian jalan yang baru beberapa bulan di cor beton itu sudah pecah dan retak-retak. Saya menduga armada logging (angkutan kayu) swasta, memberikan sumbangsih besar merusak akses transportasi vital tersebut.
Nah, satu hal lagi yang paling menjadi sebab lambatnya laju perjalanan saya adalah layer (sambungan) cor beton. Saya tak menghitung ada berapa layer di jalan antara Simpang Raja hingga Simpang Rasau (Sinar Dewa) itu. Namun karena tingginya sambungan, saya harus selalu waspada dan siap menginjak rem kapan saja.
Soal hal ini, suatu ketika, saya pernah bertemu Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga (PUBM) PALI ; Ir Eti Murniaty, di RM Buana. Kami pun akhirnya makan satu meja, dan salah satunya berbincang terkait layer itu.
Saya bertanya pada Ibu Eti, mengapa nyaris diseluruh jalan cor beton di PALI ini, layernya sangat terjal. Ada yang ketinggiannya hampir 30 cm. Lihat saja di Jalan Tambak – Tanjung Baru dan Simpang Rasau – Tanah Abang. Kenapa tidak dibuat agak melandai. Agar mobil city car (ceper) seperti punya saya, tidak nyangkut saat melintas?
“Oh, itu ulah pemborongnya, Dindo. Mereka sudah sesuai aturan. Kalau ditambah agar landai mereka rugi, kalau dibawahkan mereka menyalahi aturan, sehingga jadilah seperti itu. Nanti kita coba sampaikan, agar mereka mengerjakan kembali,” demikian jawaban Ibu Kadin PU BM.
Pertemuan kami itu sudah beberapa bulan lalu. Sekarang layer di sana masih saja tinggi. Karenanya, pengendara harus selalu hati-hati. Kecepatan jangan lebih dari 50 atau 60 km/jam. Jika tidak maka anda akan terbang bak di film Fast and Furios.
Ahh.. mata saya sangat berat. Keluar dari Simpang Rasau, konvoi armada batubara sudah menanti. Tak kurang dari enam truk nampak beriringan. Asap dari knalpotnya hitam, menutup pandangan. Raungan suara mesinnya seakan berteriak minta tolong, karena lelah memanggul beban hingga 13 ton.
Sampai di rumah, kokok ayam menyambutku. Sudah hampir pagi. Setelah membersihkan badan, saya pun berbaring. Tiba-tiba terbayang, jadwal servis mobil sudah saatnya. “Ahh, kebuntuan ini belum terpecahkan. Kemane nak lokak sen?”
Saya jadi teringat pesan mekanik di bengkel TAG Prabumulih, enam bulan lalu. “Pak, ini kaki mobilnya sudah kena. Sudah ada lelehan minyaknya. Kalo mau diperbaiki biaya dua kaki tersebut sekitar Rp1 juta,” urainya.
Tiba-tiba kepala saya makin berat. Semua pun lalu gelap. Hening..
J.Sadewo # PALI, November 2017