Arogansi Pers Sebagai Algojo Bertangan Dingin

Oleh Redaksi KABARPALI | 29 November 2018
Ilustrasi/net


Oleh : Joko Sadewo,SH*)
 
JIKALAU membaca sepintas judul di atas, ada dua konotasi yang membuat terbersit rasa menyeramkan, bukan? Pertama 'arogansi' dan kedua 'algojo'. 
 
Lalu apa artinya? Tentu saja, arogansi adalah sinonim dari kesombongan. Dan algojo adalah pembunuh atau orang yang ditugaskan untuk menghabisi. Ngeri? Ya, memang!
 
Begitulah wajah pers masa kini. Semakin ke sini, dunia jurnalistik tanah air memang makin mengerikan. Mendebarkan, serta membuat merinding bulu roma.
 
Jika dipaparkan secara luas, dengan mengaitkan pada berbagai konteks tentu akan lama, panjang serta lebih mendebarkan lagi. Maka pada bagian ini, saya akan berceritera sedikit saja, tentang kengerian pada pers soal penerapan kode etik dan 'hasratnya menghabisi' di banyak publikasi bertema kriminal.
 
Beberapa waktu silam ada berita yang lumayan viral, di Kabupaten PALI ini serta juga di kota-kota tetangga. Tentang seorang perempuan berusia 30 tahunan, janda, beranak dua. Ia tinggal di suatu desa di PALI. Diamankan polisi karena disangka menjadi penjual narkoba jenis sabu, dengan bukti beberapa gram serbuk diduga barang haram itu, yang disimpan dalam stoples di warung kecilnya.
 
Berbekal press release dari humas Polres, hampir semua media cetak --terutama media online-- mempublikasikan kabar itu. Jadilah berita fantastis dengan foto tersangka yang jelas terlihat berwajah sayu (tanpa disensor/diblur) di depan barang bukti terjejer rapi.
 
Di seantero kawasan ini, sesaat, semua lapisan memuji kepolisian. Mengecam pelaku atas ulahnya itu. Awak media bangga, tulisannya banyak dibaca (link berita online pun dishare ke sana sini).
 
Di sudut lain. Tersangka (pasti) demikian terpukul atas insiden itu. Sedih, pilu, marah, malu dan beragam perasaan lain yang campur aduk. Siapa peduli? Tak ada! Terlepas benar atau tidaknya konstruksi kejahatan yang ia lakukan sesuai press release kepolisian. Ia telah terhukum sebelum hakim menjatuhkan vonis!!
 
Tak ada ruang untuk bicara. Apapun yang aparat penegak hukum katakan, seakan itu adalah sebuah kebenaran. Pers pun telah menutup mata pada kode etik tentang keberimbangan (cover both side).
 
Lalu, seperti apa kondisi psikis keluarga tersangka pasca beruntun ia 'dihabisi' media. Orangtuanya, anak-anaknya, saudaranya, sahabatnya? Tak ada yang tahu dan mau tahu, bukan?
 
Terkait hal itu, saya mendengar cerita dari istri saya, bahwa adik ipar kami yang merupakan mantan adik ipar tersangka (sebelum cerai ia menikahi kakaknya ipar kami tersebut) menuturkan bahwa anak-anak tersangka demikian shock atas penangkapan ibunya.
 
Kedua anaknya adalah perempuan. Satu bersekolah kelas 1 SMP dan satunya belajar di kelas 3 SMP. Setelah bercerai, ia terdesak kebutuhan ekonomi. Ia pun berjualan kecil-kecilan. Karena mantan suaminya sudah menikah lagi, maka ia memilih merawat sendiri kedua buah hatinya itu.
 
Usai ibunya ditahan polisi, si sulung dan bungsu pun tak henti menangis. Mereka sangat kehilangan satu-satu orang yang terdekat dan terkasih. Melihat demikian jelas wajah ibunya di banyak media--dengan narasi pedas nan dramatis--menyulut rasa traumatik yang hebat.
 
"Beberapa hari mereka tak mau sekolah. Mereka malu katanya. Sebab, teman-temannya tahu semua kabar itu dari media yang menampilkan wajah ibunya secara jelas. Shock dan keduanya nampak murung sekali," tutur adik ipar kami pada istri saya.
 
Dari paparan di atas, setidaknya ada tiga point kode etik yang rentan diterobos insan pers. Yakni presumtion of innocent (praduga tak bersalah), cover both side (asas keberimbangan), dan penghormatan pada rasa kesusilaan atau norma.
 
Ketiga poin itu terlalu cukup untuk menghabisi objek berita. Apalagi jika dibumbui lagi dengan opini yang menyayat-nyayat. Jadilah objek laksana pesakitan nan tiada berdaya apa-apa.
 
Sesungguhnya, pers tak mempunyai kepentingan secara personal. Kepentingannya adalah terbatas pada kepentingan semua objek berita dan publik (masyarakat) secara lebih luas. Oleh karenanya, 'hasrat menghabisi' telah membuat kita (pers) seakan menjadi satu alat ampuh pihak kuat yang penuh kepentingan.
 
Kita lalu terkadang menjadi demikian beringas dan menyeramkan dengan arogansi yang melampaui rasa kemanusiaan dan norma-norma dalam sosial masyarakat ketimuran. Maka, sebelum menulis, marilah kita belajar melihat suatu esensi berita dari berbagai sisi. Agar tak ada yang tersakiti, atau merasa dihabisi.[*)Penulis adalah Kuli Berita PALI POST]

BERITA LAINNYA

101144 KaliTangis Tukang Tempe dari PALI: Saat Harapan Dicemari Isu Racun

DI SEBUAH  sudut pasar tradisional di Kabupaten Penukal Abab Lematang [...]

21 Mei 2025

76930 Kali9 Elemen Jurnalisme Plus Elemen ke-10 dari Bill Kovach

ADA sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap [...]

25 Maret 2021

38345 KaliHore! Honorer Lulusan SMA Bisa Ikut Seleksi PPPK 2024

Kabarpali.com - Informasi menarik dan angin segar datang dari Kementerian [...]

09 Januari 2024

24617 KaliIni Dasar Hukum Kenapa Pemborong Harus Pasang Papan Proyek

PEMBANGUNAN infrastruktur fisik di era reformasi dan otonomi daerah dewasa ini [...]

30 Juli 2019

22833 KaliWarga PALI Heboh, ditemukan Bekas Jejak Kaki Berukuran Raksasa

Penukal [kabarpali.com] – Warga Desa Babat Kecamatan Penukal [...]

18 Agustus 2020
Oleh : Joko Sadewo,SH*)
 
JIKALAU membaca sepintas judul di atas, ada dua konotasi yang membuat terbersit rasa menyeramkan, bukan? Pertama 'arogansi' dan kedua 'algojo'. 
 
Lalu apa artinya? Tentu saja, arogansi adalah sinonim dari kesombongan. Dan algojo adalah pembunuh atau orang yang ditugaskan untuk menghabisi. Ngeri? Ya, memang!
 
Begitulah wajah pers masa kini. Semakin ke sini, dunia jurnalistik tanah air memang makin mengerikan. Mendebarkan, serta membuat merinding bulu roma.
 
Jika dipaparkan secara luas, dengan mengaitkan pada berbagai konteks tentu akan lama, panjang serta lebih mendebarkan lagi. Maka pada bagian ini, saya akan berceritera sedikit saja, tentang kengerian pada pers soal penerapan kode etik dan 'hasratnya menghabisi' di banyak publikasi bertema kriminal.
 
Beberapa waktu silam ada berita yang lumayan viral, di Kabupaten PALI ini serta juga di kota-kota tetangga. Tentang seorang perempuan berusia 30 tahunan, janda, beranak dua. Ia tinggal di suatu desa di PALI. Diamankan polisi karena disangka menjadi penjual narkoba jenis sabu, dengan bukti beberapa gram serbuk diduga barang haram itu, yang disimpan dalam stoples di warung kecilnya.
 
Berbekal press release dari humas Polres, hampir semua media cetak --terutama media online-- mempublikasikan kabar itu. Jadilah berita fantastis dengan foto tersangka yang jelas terlihat berwajah sayu (tanpa disensor/diblur) di depan barang bukti terjejer rapi.
 
Di seantero kawasan ini, sesaat, semua lapisan memuji kepolisian. Mengecam pelaku atas ulahnya itu. Awak media bangga, tulisannya banyak dibaca (link berita online pun dishare ke sana sini).
 
Di sudut lain. Tersangka (pasti) demikian terpukul atas insiden itu. Sedih, pilu, marah, malu dan beragam perasaan lain yang campur aduk. Siapa peduli? Tak ada! Terlepas benar atau tidaknya konstruksi kejahatan yang ia lakukan sesuai press release kepolisian. Ia telah terhukum sebelum hakim menjatuhkan vonis!!
 
Tak ada ruang untuk bicara. Apapun yang aparat penegak hukum katakan, seakan itu adalah sebuah kebenaran. Pers pun telah menutup mata pada kode etik tentang keberimbangan (cover both side).
 
Lalu, seperti apa kondisi psikis keluarga tersangka pasca beruntun ia 'dihabisi' media. Orangtuanya, anak-anaknya, saudaranya, sahabatnya? Tak ada yang tahu dan mau tahu, bukan?
 
Terkait hal itu, saya mendengar cerita dari istri saya, bahwa adik ipar kami yang merupakan mantan adik ipar tersangka (sebelum cerai ia menikahi kakaknya ipar kami tersebut) menuturkan bahwa anak-anak tersangka demikian shock atas penangkapan ibunya.
 
Kedua anaknya adalah perempuan. Satu bersekolah kelas 1 SMP dan satunya belajar di kelas 3 SMP. Setelah bercerai, ia terdesak kebutuhan ekonomi. Ia pun berjualan kecil-kecilan. Karena mantan suaminya sudah menikah lagi, maka ia memilih merawat sendiri kedua buah hatinya itu.
 
Usai ibunya ditahan polisi, si sulung dan bungsu pun tak henti menangis. Mereka sangat kehilangan satu-satu orang yang terdekat dan terkasih. Melihat demikian jelas wajah ibunya di banyak media--dengan narasi pedas nan dramatis--menyulut rasa traumatik yang hebat.
 
"Beberapa hari mereka tak mau sekolah. Mereka malu katanya. Sebab, teman-temannya tahu semua kabar itu dari media yang menampilkan wajah ibunya secara jelas. Shock dan keduanya nampak murung sekali," tutur adik ipar kami pada istri saya.
 
Dari paparan di atas, setidaknya ada tiga point kode etik yang rentan diterobos insan pers. Yakni presumtion of innocent (praduga tak bersalah), cover both side (asas keberimbangan), dan penghormatan pada rasa kesusilaan atau norma.
 
Ketiga poin itu terlalu cukup untuk menghabisi objek berita. Apalagi jika dibumbui lagi dengan opini yang menyayat-nyayat. Jadilah objek laksana pesakitan nan tiada berdaya apa-apa.
 
Sesungguhnya, pers tak mempunyai kepentingan secara personal. Kepentingannya adalah terbatas pada kepentingan semua objek berita dan publik (masyarakat) secara lebih luas. Oleh karenanya, 'hasrat menghabisi' telah membuat kita (pers) seakan menjadi satu alat ampuh pihak kuat yang penuh kepentingan.
 
Kita lalu terkadang menjadi demikian beringas dan menyeramkan dengan arogansi yang melampaui rasa kemanusiaan dan norma-norma dalam sosial masyarakat ketimuran. Maka, sebelum menulis, marilah kita belajar melihat suatu esensi berita dari berbagai sisi. Agar tak ada yang tersakiti, atau merasa dihabisi.[*)Penulis adalah Kuli Berita PALI POST]

BERITA TERKAIT

Raja, Penasehat Bijak, dan Bahaya Pembisik Politik: Sebuah Pelajaran untuk Pemimpin Zaman Sekarang

24 Juni 2025 1587

DALAM sejarah panjang peradaban, hampir semua raja besar selalu dikelilingi [...]

Hari Bank Indonesia

23 Juni 2025 712

Penulis Zainul Marzadi,SH.MH adalah Dosen UnivesitasSerasan   Hari [...]

Fiksi: Negeri di Ujung Lidah

03 Juni 2025 1411

DI SEBUAH sudut dunia yang terlupa peta, tersembunyi sebuah negeri bernama [...]

close button