Sanksi Sosial Berita Kriminal : Ketika Media Menghukum Sebelum Pengadilan
DI TENGAH derasnya arus informasi dan kecepatan media dalam memburu berita, ada satu prinsip hukum yang kerap terlupakan: asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Asas ini, yang secara eksplisit dijamin dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dianggap bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Namun, dalam praktik jurnalistik, terutama dalam pemberitaan kriminal, asas ini sering dikalahkan oleh nafsu mengejar sensasi dan klik pembaca.
Tidak sedikit media massa yang memberitakan seorang tersangka tindak pidana dengan gaya bahasa yang cenderung menghakimi. Judul-judul seperti "Pelaku Penipuan Ditangkap" atau "Tersangka Korupsi Ini Akhirnya Tertangkap" muncul sebelum proses peradilan berjalan. Kata “pelaku” dan “koruptor” sudah mengandung vonis moral, padahal secara hukum orang tersebut masih berstatus tersangka. Lebih parah lagi jika disertai foto-foto vulgar, seperti wajah tersangka yang disorot jelas, atau bahkan disandingkan dengan narasi yang merusak martabatnya.
Dampaknya bukan hanya psikologis bagi tersangka, tapi juga menjadi beban sosial dan mental bagi keluarganya. Anak-anak mereka bisa mengalami perundungan di sekolah, pasangan mereka dikucilkan dari lingkungan sosial, dan orangtua mereka menanggung malu atas sesuatu yang belum tentu terbukti secara hukum. Sanksi sosial ini seperti hukuman tambahan yang tidak diatur dalam KUHP, tapi justru seringkali lebih menyakitkan dan bertahan lebih lama dibanding putusan pengadilan.
Dimensi Hukum dan Etika Jurnalistik
Dalam dunia jurnalistik, ada pedoman yang seharusnya menjadi pagar etika dalam memberitakan kasus hukum. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang ditetapkan oleh Dewan Pers pada 14 Maret 2006 menyebutkan dengan tegas dalam Pasal 3 bahwa “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.”
Artinya, jurnalis dituntut tidak hanya cepat dan akurat, tapi juga berimbang dan tidak menghakimi. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga menyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) bahwa "Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah." Jika media melanggar asas ini, mereka bisa dikenai teguran oleh Dewan Pers, bahkan dapat diperkarakan secara hukum jika menimbulkan kerugian nama baik seseorang.
Namun, penegakan terhadap pelanggaran semacam ini seringkali lemah. Media besar jarang dimintai pertanggungjawaban atas efek sosial dari pemberitaannya yang tendensius. Alhasil, masyarakat pun lebih sering mengonsumsi opini ketimbang fakta, dan menjatuhkan vonis moral sebelum vonis hukum ditetapkan.
Tulisan ini adalah seruan agar semua pihak — media, aparat penegak hukum, dan masyarakat — kembali memegang teguh nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Menjadi tersangka adalah status hukum, bukan identitas moral. Setiap orang berhak diperlakukan secara bermartabat hingga terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan di pengadilan.
Media massa memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik. Maka kekuatan itu seharusnya digunakan untuk mencerdaskan, bukan menghakimi. Pemberitaan kriminal harus dilakukan dengan kehati-hatian, memastikan bahwa hak-hak tersangka dihormati, dan keluarga mereka tidak ikut menjadi korban pemberitaan yang tidak berimbang.
Mari kita kembali pada semangat keadilan yang humanis. Karena keadilan yang hanya mengejar pelaku tanpa menghormati kemanusiaannya, pada akhirnya bukan keadilan — melainkan balas dendam publik yang dibungkus dalam narasi berita.*)
Penulis : Adv. J. Sadewo, S.H.,M.H. (Advokat - Ketua PWI Kab. PALI)