Mampukah PWI Jadi Wadah Bernaung yang 'Teduh' Bagi Jurnalis PALI?
Oleh Redaksi KABARPALI
Logo PWI / net.
EVENT tiga tahunan di tubuh organisasi profesi pewarta di Bumi Serepat Serasan, bernama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten PALI sebentar lagi akan dihelat. Tajuknya adalah Konferensi Kabupaten (Konferkab) Ke-2 Tahun 2018, dengan agenda utama pemilihan Ketua PWI PALI periode 2018-2021.
Menjadi anggota PWI sejak 2014 lalu, dan keterlibatan di organisasi itu sebagai pengurus, telah menggelitik saya untuk menulis catatan singkat ini. Rangkaian kalimat ini, adalah perwujudan rasa cinta saya yang besar pada dunia pers, dan semoga bisa menjadi bahan evaluasi dan proyeksi PWI PALI ke depan.
Sebagai seorang wartawan sekaligus pemilik media pelopor di kabupaten ini sejak 2010 silam, saya tahu betul dan sangat faham, bagaimana romantika dunia pers di PALI bermetamorfosa. Dari pola kerja para wartawan dulu dan kini. Hingga perkembangan beragam platform medianya.
Hal itu memungkinkan saya untuk bercerita dan menyimpulkan esensi, bagaimana perjalanan dunia pers di PALI beserta ragam dinamikanya. Serta yang tak kalah penting, mesti ke arah manakah PWI PALI berjalan, agar bisa menjadi resolusi segenap wartawan di daerah ini.
Sebagaimana sering saya sebut, bahwasannya pers adalah pilar keempat demokrasi. Hal itu pun cukup menunjukkan betapa sangat pentingnya eksistensi pers dalam kehidupan bernegara. Tatkala eksekutif, legislatif dan atau yudikatif 'gamang' dalam tupoksinya, pers harus segera hadir menjadi pedoman yang jernih, tegas, dan tetap independen.
Hal ini lalu menandakan, bahwa pers mutlak harus 'sehat'. Sehat di sini berarti wartawan harus mampu melihat, menganalisa dan menuangkan suatu kepentingan publik dalam tulisan yang objektif. Agar sehat, pers harus sering mengkonsumsi vitaminnya, yakni edukasi (belajar).
Lalu ketika di PALI ada fenomena orang yang menyandang sebutan wartawan namun tak mampu menulis? Di situlah saya merasa sedih! Bukan hanya sedih. Rasanya ingin menangis sesenggukan. Ini cukup menjadi bukti, pers PALI kurang sehat. Di sinilah PWI mestinya dapat berperan menjadi kelas yang nyaman untuk proses belajar dan saling berbagi ilmu.
Belajar tersebut tak terbatas pada satu hal saja. Wartawan dapat menimba ilmu tentang teknis penulisan, trik wawancara, tak ketinggalan etika dalam prakteknya. Karena apa? Etika yang minim rentan menimbulkan persoalan pada seorang wartawan maupun medianya.
Di PALI, beberapa contoh kasus sengketa antara wartawan dan stake holder, juga menunjukkan bahwa kita memang harus banyak belajar. Terlepas dari kesalahan yang bermula dari mereka, tak salah pula jika kita pun harus rutin instropeksi diri.
Kemudian kredibilitas, wibawa dan elegansi sebuah kalangan satu profesi yang bernaung di organisasi PWI pasti juga akan menjadi tolak ukur, bargaining value (nilai tawar) di mata para pengampu kebijakan. Ketika kita tak dihargai lagi, jangan harap mereka akan menghormati!
Banyak hal yang sudah dicapai PWI PALI satu periode ke belakang. Namun ada lebih banyak lagi PR yang harus diselesaikan pada masa akan datang. Sehingga PWI PALI dapat benar-benar bersinergisitas dengan semua pihak secara simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Jika demikian, maka PWI akan dapat menjadi wadah bernaung yang teduh, bagi semua insan pers di daerah ini. Selamat ber-Konferkab!! (**)
Penulis : Joko Sadewo,SH (Pemred PALI POST - kabarpali.com)