Larangan Mudik, Mengatasi Masalah atau Menambah Masalah?

Oleh Redaksi KABARPALI | 07 Mei 2021
Ilustrasi/net


Oleh: Joko Sadewo*)
 

"Para pemudik yang nekat menerobos penyekatan jalan oleh petugas, membuktikan bahwa mereka sesungguhnya lebih mencintai keluarganya di desa, ketimbang mematuhi pemerintah?"                     

Mudik merupakan budaya atau tradisi turun menurun yang telah dilakukan oleh bangsa ini sejak puluhan tahun lalu. Dibalut pula dengan nilai religius yang kental, sebagai suatu ritual pelengkap bagi mayoritas umat muslim, dalam merayakan Idul Fitri setiap tahunnya.
 
Sebagai suatu kebiasaan, tentu taklah mudah menghilangkan atau melarang budaya mudik ini. Alih-alih beralasan untuk menyelamatkan mereka dari bahaya tertular atau menularkan virus corona (covid 19), ketentuan tak boleh mudik justru berpotensi menyakiti hati rakyat.
 
Nampaknya, pemerintah tak belajar dari momentum lebaran tahun lalu. Dimana mudik juga dilarang saat itu. Faktanya, masih banyak masyarakat yang tetap nekat pulang kampung. Bahkan kucing-kucingan dengan petugas, demi bertemu dengan keluarga tercinta.
 
Para pemudik itu, akhirnya, tak hanya mengancam keselamatannya sendiri dan orang lain, tapi juga bisa mencetus tindakan kriminal yang berbahaya.
 
Seperti juga tahun ini, meski telah dilarang pemerintah, ternyata masih banyak pemudik yang 'keukeuh' untuk sampai di kampung halaman. Ada yang berbondong pulang sebelum penyekatan jalan, sembunyi di dalam mobil box, truk atau bahkan menempuh 'jalur tikus' yang notabene telah dihadang petugas pula.
 
Dari beberapa giat seminar online (webinar) membahas pelarangan mudik yang saya ikuti, beberapa pembicara yang merupakan akademisi, bahkan guru besar di beberapa Universitas dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, secara tersirat sepakat pada suatu konklusi bahwa pemerintah semestinya memikirkan solusi lain yang lebih tepat bagi rakyat.
 
Betapa para perantau akan merasakan kesedihan mendalam, karena keinginan yang telah dipendam selama satu tahun itu, tak bisa terwujud. Ada anak rindu orangtuanya, adik yang ingin bertemu kakaknya, atau bahkan suami yang karena bekerja, terpisah dari anak istrinya.
 
Bagi masyarakat golongan bawah, 'tilik' keluarga di kampung, merupakan hal yang tak mudah. Bukan hanya faktor biaya yang relatif besar bagi mereka, namun juga alokasi waktu yang lebih banyak tersita untuk bekerja.
 
Oleh karenanya, mudik merupakan momentum yang ditunggu-tunggu, dimana mereka bisa bersua dengan orang terkasih setelah terpisah sekian lama. Dalam suasana sukacita, bisa bercerita, bersenda gurau, dan berbagi rezeki yang didapat, secara tatap muka.
 
Pagu anggaran yang disiapkan pemerintah untuk membiayai tugas penyekatan jalan dan hal lainnya terkait larangan mudik sudah demikian besar. Menambah daftar pengeluaran pemerintah dalam mengantisipasi dan memutus mata rantai penyebaran covid 19 di negri ini.
 
Akibat hantaman penyakit yang tercetus pertama kali dari China itu, kondisi perekonomian Indonesia memang tambah limbung. Hutang negara makin membengkak. Hidup masyarakat kian susah.
 
Oleh karenanya, kebijakan pemerintah terkait antisipasi penyebaran Covid 19 memang suatu keniscayaan. Tetapi, kebijakan itu haruslah dikaji secara mendalam, dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, ekonomi, hukum dan lainnya secara komprehensif.
 
Saya berpendapat, alokasi anggaran yang ada mestinya bisa disalurkan melalui kebijakan untuk membiayai mobilitas para pemudik, secara bergelombang. Ketat dan disiplin protokol kesehatan (prokes) dengan pengawasan tim gugus tugas percepatan penanganan covid 19.
 
Setiap calon pemudik selain membuktikan bahwa mereka sehat, juga diminta membuat pernyataan untuk mematuhi prokes secara ketat dan disiplin, baik dalam perjalanan maupun sesampai di kampung halaman dan sekembalinya. 
 
Pelanggaran akan disanksi oleh petugas gugus tugas yang mengawal perjalanan dan diteruskan aparat ditingkat desa. Dari dibatalkan mudiknya, hingga diisolasi beberapa waktu atau ditunda kembali ke kota.
 
Jika alternatif solusi itu berjalan, saya yakin, rakyat akan senang. Semacam 'win-win solution' antara warga negara dengan pemerintah. Perekonomian akan menggeliat dan tradisi tetap terjaga.
 
Namun begitu, Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang larangan mudik, sudah berjalan. Sebagai warga negara yang baik, kita seyogyanya patuh pada anjuran pemerintah itu. Menahan diri untuk tak mudik. Tetap jaga kesehatan dan membudayakan 5 M (Memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas dan mencuci tangan pakai sabun di air mengalir).
 
Aturan memang seperti pisau bermata dua. Tujuannya adalah untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, namun jika tak betul dalam menggunakannya ia bisa melukai salah satu atau bahkan keduanya.
 
Semoga serangan Covid 19 segera berlalu. Ekonomi bangkit, Indonesia makmur, rakyat sejahtera. Aamiin..
 
Selamat berpuasa dan semoga dipertemukan Idul Fitri 1442 Hijriah. Mohon maaf lahir bathin!!
 
*)Penulis adalah Jurnalis / Pemimpin Redaksi PALI POST - www.kabarpali.com dan Advokat.
 
 

BERITA LAINNYA

64056 Kali9 Elemen Jurnalisme Plus Elemen ke-10 dari Bill Kovach

ADA sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap [...]

25 Maret 2021

35033 KaliHore! Honorer Lulusan SMA Bisa Ikut Seleksi PPPK 2024

Kabarpali.com - Informasi menarik dan angin segar datang dari Kementerian [...]

09 Januari 2024

22658 KaliIni Dasar Hukum Kenapa Pemborong Harus Pasang Papan Proyek

PEMBANGUNAN infrastruktur fisik di era reformasi dan otonomi daerah dewasa ini [...]

30 Juli 2019

21690 KaliWarga PALI Heboh, ditemukan Bekas Jejak Kaki Berukuran Raksasa

Penukal [kabarpali.com] – Warga Desa Babat Kecamatan Penukal [...]

18 Agustus 2020

20525 KaliFenomena Apa? Puluhan Gajah Liar di PALI Mulai Turun ke Jalan

PALI [kabarpali.com] - Ulah sekumpulan satwa bertubuh besar mendadak [...]

15 Desember 2019
Oleh: Joko Sadewo*)
 

"Para pemudik yang nekat menerobos penyekatan jalan oleh petugas, membuktikan bahwa mereka sesungguhnya lebih mencintai keluarganya di desa, ketimbang mematuhi pemerintah?"                     

Mudik merupakan budaya atau tradisi turun menurun yang telah dilakukan oleh bangsa ini sejak puluhan tahun lalu. Dibalut pula dengan nilai religius yang kental, sebagai suatu ritual pelengkap bagi mayoritas umat muslim, dalam merayakan Idul Fitri setiap tahunnya.
 
Sebagai suatu kebiasaan, tentu taklah mudah menghilangkan atau melarang budaya mudik ini. Alih-alih beralasan untuk menyelamatkan mereka dari bahaya tertular atau menularkan virus corona (covid 19), ketentuan tak boleh mudik justru berpotensi menyakiti hati rakyat.
 
Nampaknya, pemerintah tak belajar dari momentum lebaran tahun lalu. Dimana mudik juga dilarang saat itu. Faktanya, masih banyak masyarakat yang tetap nekat pulang kampung. Bahkan kucing-kucingan dengan petugas, demi bertemu dengan keluarga tercinta.
 
Para pemudik itu, akhirnya, tak hanya mengancam keselamatannya sendiri dan orang lain, tapi juga bisa mencetus tindakan kriminal yang berbahaya.
 
Seperti juga tahun ini, meski telah dilarang pemerintah, ternyata masih banyak pemudik yang 'keukeuh' untuk sampai di kampung halaman. Ada yang berbondong pulang sebelum penyekatan jalan, sembunyi di dalam mobil box, truk atau bahkan menempuh 'jalur tikus' yang notabene telah dihadang petugas pula.
 
Dari beberapa giat seminar online (webinar) membahas pelarangan mudik yang saya ikuti, beberapa pembicara yang merupakan akademisi, bahkan guru besar di beberapa Universitas dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, secara tersirat sepakat pada suatu konklusi bahwa pemerintah semestinya memikirkan solusi lain yang lebih tepat bagi rakyat.
 
Betapa para perantau akan merasakan kesedihan mendalam, karena keinginan yang telah dipendam selama satu tahun itu, tak bisa terwujud. Ada anak rindu orangtuanya, adik yang ingin bertemu kakaknya, atau bahkan suami yang karena bekerja, terpisah dari anak istrinya.
 
Bagi masyarakat golongan bawah, 'tilik' keluarga di kampung, merupakan hal yang tak mudah. Bukan hanya faktor biaya yang relatif besar bagi mereka, namun juga alokasi waktu yang lebih banyak tersita untuk bekerja.
 
Oleh karenanya, mudik merupakan momentum yang ditunggu-tunggu, dimana mereka bisa bersua dengan orang terkasih setelah terpisah sekian lama. Dalam suasana sukacita, bisa bercerita, bersenda gurau, dan berbagi rezeki yang didapat, secara tatap muka.
 
Pagu anggaran yang disiapkan pemerintah untuk membiayai tugas penyekatan jalan dan hal lainnya terkait larangan mudik sudah demikian besar. Menambah daftar pengeluaran pemerintah dalam mengantisipasi dan memutus mata rantai penyebaran covid 19 di negri ini.
 
Akibat hantaman penyakit yang tercetus pertama kali dari China itu, kondisi perekonomian Indonesia memang tambah limbung. Hutang negara makin membengkak. Hidup masyarakat kian susah.
 
Oleh karenanya, kebijakan pemerintah terkait antisipasi penyebaran Covid 19 memang suatu keniscayaan. Tetapi, kebijakan itu haruslah dikaji secara mendalam, dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, ekonomi, hukum dan lainnya secara komprehensif.
 
Saya berpendapat, alokasi anggaran yang ada mestinya bisa disalurkan melalui kebijakan untuk membiayai mobilitas para pemudik, secara bergelombang. Ketat dan disiplin protokol kesehatan (prokes) dengan pengawasan tim gugus tugas percepatan penanganan covid 19.
 
Setiap calon pemudik selain membuktikan bahwa mereka sehat, juga diminta membuat pernyataan untuk mematuhi prokes secara ketat dan disiplin, baik dalam perjalanan maupun sesampai di kampung halaman dan sekembalinya. 
 
Pelanggaran akan disanksi oleh petugas gugus tugas yang mengawal perjalanan dan diteruskan aparat ditingkat desa. Dari dibatalkan mudiknya, hingga diisolasi beberapa waktu atau ditunda kembali ke kota.
 
Jika alternatif solusi itu berjalan, saya yakin, rakyat akan senang. Semacam 'win-win solution' antara warga negara dengan pemerintah. Perekonomian akan menggeliat dan tradisi tetap terjaga.
 
Namun begitu, Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang larangan mudik, sudah berjalan. Sebagai warga negara yang baik, kita seyogyanya patuh pada anjuran pemerintah itu. Menahan diri untuk tak mudik. Tetap jaga kesehatan dan membudayakan 5 M (Memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas dan mencuci tangan pakai sabun di air mengalir).
 
Aturan memang seperti pisau bermata dua. Tujuannya adalah untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, namun jika tak betul dalam menggunakannya ia bisa melukai salah satu atau bahkan keduanya.
 
Semoga serangan Covid 19 segera berlalu. Ekonomi bangkit, Indonesia makmur, rakyat sejahtera. Aamiin..
 
Selamat berpuasa dan semoga dipertemukan Idul Fitri 1442 Hijriah. Mohon maaf lahir bathin!!
 
*)Penulis adalah Jurnalis / Pemimpin Redaksi PALI POST - www.kabarpali.com dan Advokat.
 
 

BERITA TERKAIT

Mengenal “Silent Voters” dan “Silent Influencer” pada Pilkada PALI 2024

20 November 2024 2893

ISTILAH Silent Voters dan Silent Influencer mungkin belum terlalu populer di [...]

Bayang – Bayang Politik Uang pada Pilkada Serentak 2024

08 Oktober 2024 3104

Membicarakan soal politik uang (money politic) rasanya takkan ada habisnya. [...]

Musim Pilkada : Demi Kepentingan Publik, Wartawan Jangan Berpolitik

05 September 2024 3153

Memasuki musim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024, tensi politik [...]

close button