Fiksi: Negeri di Ujung Lidah
DI SEBUAH sudut dunia yang terlupa peta, tersembunyi sebuah negeri bernama Omon. Tanahnya subur, langitnya biru, dan rakyatnya dahulu hidup dalam damai, bercocok tanam dengan cangkul dan harapan. Negeri ini, kata orang tua dulu, lahir dari doa-doa panjang para petani, dan tumbuh karena peluh yang jatuh di ladang.
Namun semuanya berubah saat Penguasa Baru naik takhta.
Namanya digemakan bak syair, dielu-elukan bagai dewa pembebas. Ia tak membawa pedang, melainkan janji. Janji yang harum seperti bunga, indah seperti mentari senja, tapi ringan seperti asap—hilang sebelum sempat disentuh.
Setiap pidatonya adalah pertunjukan. Di atas mimbar, ia bukan hanya berbicara, tapi merayu semesta. Ia menjanjikan jalan emas yang menghubungkan desa ke kota, sekolah bercahaya di tiap dusun, dan lautan pekerjaan bagi mereka yang menganggur. Ia bicara tentang “Kemajuan Besar”, “Revolusi Cinta”, dan “Transformasi Totalitas Menuju Kesejahteraan Maksimal”.
Rakyat percaya, tentu saja. Karena bagaimana mungkin menolak mimpi yang dikemas dengan kata-kata semanis madu?
Namun waktu berlalu, dan janji tinggal janji. Jalan emas tak pernah digali, malah sawah rakyat terjual untuk proyek yang tak pernah selesai. Sekolah bercahaya berubah jadi bangunan terbengkalai, penuh semak dan ilalang. Dan pekerjaan? Justru makin banyak orang menganggur, kini menjajakan impian mereka sendiri di tepi jalan, di antara debu dan kekecewaan.
Tiap kali rakyat bertanya, sang Penguasa menjawab dengan lebih banyak kata-kata. Ia bilang, “Rakyat harus sabar.” Ia bilang, “Ini semua demi masa depan.” Ia bilang, “Segalanya sedang dalam proses perencanaan super-strategis yang tak bisa dijelaskan kepada awam.”
Namun hari demi hari, hidup tak menunggu rencana. Anak-anak tetap lapar. Harga sembako melambung seperti doa yang tak pernah turun sebagai hujan.
Omon berubah menjadi negeri gaduh. Bukan oleh senjata, tapi oleh suara: suara rakyat yang mulai lelah, suara tokoh yang mulai bertanya, dan tentu, suara sang Penguasa yang terus saja berbicara, tanpa henti, tanpa isi.
Orang-orang mulai menyebut negeri mereka bukan lagi Omon, tapi Negeri di Ujung Lidah—tempat di mana segalanya hanya berhenti sebagai ucapan. Di mana hidup dijalani dengan penuh tanya, dan pengharapan terkubur di balik pidato-pidato megah yang hampa.
Kini, satu-satunya yang bertumbuh subur di negeri itu adalah janji yang tak pernah ditepati—dan luka yang diam-diam menjalar di hati rakyat.**
Penulis: J. Sadewo (Ketua PWI PALI) -- dengan nama pena Ki Jurai Nengkoda. Ia bukan warga Negeri Omon.










