Dianggap Lahan Tidur, PT GBS Terbitkan SHM Plasma di Atas Lahan Pertamina
Oleh Redaksi KABARPALI
Survei PT Pertamina EP Aset 2 Adera Field bersama pihak terkait di lahan Abab Desa Pengabuan Timur.
Abab [kabarpali.com] - Akibat diklaim PT Golden Blossom Sumatera (GBS), kini kegiatan operasional produksi terhenti di 28 titik sumur bor milik Pertamina.
Hal itu berarti menimbulkan kerugian negara yang berpotensi menghasilkan devisa negara melalui sektor minyak dan gas bumi. Sebagaimana Inpres nomor 2 tahun 2012 tentang peningkatan produksi minyak nasional, saat ini Laporan Polisi (LP) PT GBS ke pihak Polda Sumsel atas tuduhan pengrusakan 49 pohon sawit oleh PT Pertamina EP Asset 2 Adera Field yang diklaim di lahan milik PT GBS.
"Pihak kita juga dari Pertamina Field Adera sudah dipanggil untuk dimintai keterangan atas pengrusakan 49 batang pohon sawit tersebut," ujar Arni, bagian Legal dari Fungsi Legal and Relation (LR) Adera Field, pada kabarpali.com, baru-baru ini.
Pihak Pertamina masih melakukan kajian hukum dan mempelajari atas kasus tersebut. Karena sampai saat ini pihak Pertamina belum pernah melihat Sertifikat Hak Milik (GBS) seperti yang disampaikan PT GBS ke pihak Polda Sumsel, sebagai dasar LP.
"Penyebab terjadinya Sertifikat Hak Milik di atas sumur bor minyak aktif, apakah ada unsur kesengajaan, ketidak sengajaan dan karena kesalahan administrasi?" imbuh Arni.
Dan apakah sudah melakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain melakukan survei lapangan dan pengukuran batas tanah pemetaan di lapangan yang saat ini menjadi perhatian serius pihak Pertamina, tambahnya.
Arni juga menegaskan bahwa pihak Pertamina sangat mengharapkan atas peristiwa hukum ini akan menjadi jelas kepastian hukumnya karena sudah terlalu lama dari tahun 2011 adanya pendapat atas status kepemilikan tanah negara yang dikelola oleh Pertamina sejak tahun 1974 yang saat ini sudah di SHM atas nama warga Desa Pengabuan.
"Tugas Pertamina sebagai pengelola aset negara wajib mengamankan dan memelihara semua aset negara yang tercatat di Kementerian Keuangan," tegasnya.
Menurutnya, pihak Pertamina akan menanyakan kepada pihak pemerintah daerah dan pusat atas adanya penetapan 28 titik sumur bor existing milik Pertamina terkait keputusan Bupati Muara Enim nomor 696 / KPTS / BUN / 2009 tanggal 9 Desember tahun 2009 dan BPN atas terbitnya SHM sehingga pemerintah dalam hal ini bisa memberikan jaminan kepastian hukum atas penguasaan dan pemilikan tanah.
Saat ini area yang dikuasai oleh PT GBS tersebut masuk wilayah objek vital nasional (Obvitnas) berdasarkan Kepmen ESDM nomor 3407K/07/MEM/ 2012 dan Keppres nomor 63/2014 sudah sangat jelas lahan yang luasnya lebih kurang sekitar 28 hektar itu adalah objek vital nasional yang sangat mudah terbakar dan meledak.
"Saat kita melakukan survei bersama Kejaksaan Negeri PALI, BPN Muara Enim dan pemerintah Desa Pengabuan yang diwakili oleh Kepala Desa pengabuan Timur, ditemukan titik api di lokasi yang dikuasai oleh PT GBS terdapat adanya suatu kegiatan pembakaran sisa buah sawit di atas titik sumur bor minyak dan yang kita pertanyakan apabila adanya kejadian kebakaran dan ledakan yang berakibat adanya korban manusia yang disebabkan oleh kegiatan PT GBS, siapa yang akan bertanggung jawab dalam hal ini. Jangan sampai hal ini dilimpahkan tanggung jawabnya ke PT Pertamina EP hanya karena adanya titik sumur bor minyak saja, padahal saat ini pihak Pertamina sebagai terlapor di Polda Sumsel atas laporan PT GBS," tandasnya.
Disampaikan Arni, karena adanya peristiwa hukum ini sehingga potensi kerugian negara lebih kurang 575 Barrel of oil per day (BOPD) dari 28 titik sumur bor minyak tersebut dan juga tertahannya dua alat berat yang saat ini dijadikan alat bukti pengrusakan 49 pohon sawit atas adanya klaim kepemilikan tanah negara oleh PT GBS melalui plasma.
Sementara itu, Kepala Desa Pengabuan Timur Iskandar, mengatakan bahwa meski masyarakat desanya berstatus sebagai pemilik lahan plasma dimaksud, namun mereka hingga saat ini tak pernah melihat SHM dimaksud.
"Kata pihak perusahaan SHM dijaminkan di bank untuk pinjaman plasma. Bahkan photocopiannya saja kami tak pernah melihat. Sehingga kami pun sebenarnya tidak tahu dibagian mana lahan kami tersebut," tutur kades pada media ini, Minggu (30/12/2018).
Ironisnya lagi, tambah Kades, bahkan sudah tujuh bulan ini mereka belum menerima bagi hasil plasma yang biasanya ditranfer GBS ke rekening masing-masing sebesar Rp45 ribu per bulan.
"Jadi menurut kami selaku pemerintah desa, lahan itu sebenarnya milik Pertamina, karena sejak tahun 1970'an sudah ada sumur bornya. Kini Pertamina mau operasi lagi di sana, sudah ada pohon sawitnya," pungkas Kades.[red]