Dari Secangkir Kopi Hingga Jadi Bupati
MALAM ini seperti biasa, saya janjian dengan sahabat, sekaligus rekan kerja saya. Mas Pardi namanya. Seorang pejabat muda, berdedikasi, kreatif, loyal terhadap atasan, namun tetap idealis.
Meski berprofesi sebagai birokrat, namun ia selalu memandang persoalan pemerintahan secara objektif. Hmm.. Sosok yang potensial seperti ini, sungguh dibutuhkan bumi pertiwi, yang konon sedang lemah mentalnya.
Jadilah malam ini saya sowan ke sana. Duduk santai di teras kediamannya. Sambil nyambi martabak manis dan tak lupa rokok menthol, sumber pemasukan bea cukai terbesar di negara ini.
Tiba-tiba istri Mas Pardi keluar. Membawa secangkir kopi hitam, dan menaruhnya di atas meja.
"Lha kok secangkir. Emang sampeyan gak ngopi, Mas?" tanya saya.
"Ini ada punya saya!" jawabnya sembari menunjuk gelas porselen putih, yang tak terlihat jelas. Kosong atau memang ada isinya?.
Kami ngobrol ngalor ngidul. Berdiskusi tentang berbagai hal di muka bumi nan fana ini. Dari soal harga getah yang terus merosot, organisasi kepemudaan, hingga fenomena LGBT.
Menyeruput kopi kental sambil menghisap rokok dalam-dalam, serasa jadi Jenderal Soedirman saya malam ini. Kopi yang nikmat. Pasti diimport dari kabupaten sebelah, fikir saya.
Jarum jam di lengan saya sudah menunjukkan pukul 23.37 WIB. Saya pun pamit pulang. Cukup lama kami bertukar pendapat. Terhitung sejak jam 20.30 WIB, saya tiba tadi.
Setelah basa basi dan pamit. Saya memutar mobil meluncur pulang. Meniti jalanan yang sunyi sepi.
Sampai di peraduan, saya coba memejamkan mata. Sembari memeluk istri saya yang seksi dan putih. Berharap segera lelap, melepas penat.
Namun mata enggan terpejam. Fikir saya masih betah kelayapan. Merajut rencana tentang asa yang terus membara. kadang lurus, kadang berbelok.
Saya adalah seorang pengusaha tadinya. Kemudian merambah dunia politik. Ikut nyaleg dan menang dua periode.
Pembawaan saya yang low profil. Senang bersama wong cilik dan getol memperjuangkan nasib mereka, membuat mereka mendaulat saya maju pada Pilkada.
Jadilah saya kini Bupati. Penguasa teritorial kabupaten gemah ripah loh jenawi. Sumber daya alam nan melimpah, menjadi jaminan negri ini makmur.
Saya mulai berfikir untuk nyabup lagi periode depan. Sangat optimis. Sebagai incumbent saya pasti menang.
Ahh.. Mata saya masih enggan terpejam. Meski celana kolor saya sudah ditutupin ke muka, tapi tetap saja belum mau tertidur.
Tiba-tiba saya melirik jam dinding, yang remang-remang diterangi lampu dari ruang tamu. "Busyet dah. Sudah jam 03.30!!"
"Gile.. Ini pasti gara-gara kopi di rumah Mas Pardi tadi. Kena deh saya!"
Pelan-pelan saya berdiri, agar istri saya tidak terbangun. Menghidupkan laptop di atas meja, dan mulai menekan keyboard.
Saya benar-benar kapok minum kopi malam begini. Minumnya tadi, maboknya sekarang.
"Mas Pardi, awas kalo bikinin saya kopi lagi. Akibatnya, belum tidur saya sudah mimpi jadi bupati. Koplak!!"
Pendopo, 7 Nov 2017