Mengenal “Silent Voters” dan “Silent Influencer” pada Pilkada PALI 2024
ISTILAH Silent Voters dan Silent Influencer mungkin belum terlalu populer di tengah masyarakat kita. Tetapi bagi kalangan politisi, pengamat, akademisi maupun para konsultan politik, sudah barang tentu akrab dengan istilah berbahasa asing itu.
Silent Voters mempunyai arti para pemilih yang cenderung senyap pada kontestasi Pemilu atau Pilkada. Mereka tidak menampakkan keberpihakannya kepada suatu pasangan calon (paslon) mana pun, meski ia telah memutuskan untuk mendukung, atau akan memilih paslon tertentu pada pemungutan suara nanti.
Silent Voters biasanya mempunyai alasan tersendiri memilih sikap demikian. Pada konteks Pilkada, Silent Voters biasanya adalah kalangan middle – up (menengah ke atas). Mereka adalah kaum terpelajar, tokoh masyarakat, pejabat, termasuk ASN yang memang harus bersikap netral. Meski juga tidak sedikit kalangan bawah (middle – bottom) yang juga lebih senyap, karena tidak tertarik terhadap hingar-bingar politik, yang menurut mereka tidak memberi faedah secara langsung terhadap kehidupannya sehari-hari.
Selain itu, pada suatu Pilkada dengan Paslon lebih dari dua pasang, orang-orang tertentu juga akan cenderung bersikap silent (diam), ketika di antara para Paslon tersebut, ia sama-sama punya kedekatan atau hubungan khusus, meski ada yang dirasa lebih istimewa. Hal ini dianggap jalan terbaik, untuk menjaga hubungan tersebut, agar jangan ada ketersinggungan, yang dapat merusak hubungan mereka di kemudian hari.
Silent Voters di PALI
Pada Pilkada serentak 2024 di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) Sumsel, dinamika politik hari ini, dari pengamatan penulis juga sangat unik. Dengan jumlah kontestan empat paslon, suasana politik di Bumi Serepat Serasan terasa sangat adem, kondusif dan cenderung senyap. Kondisi ini sangat berbeda, jika kita bandingkan dengan tensi politik di wilayah tetangga sebelah, Kabupaten Musi Banyuasin atau Kotamadya Prabumulih, misalnya.
Menurut perspektif penulis, masyarakat akar rumput (grassroot) di PALI khususnya, telah banyak belajar dari dinamika politik yang dipertontonkan oleh elit tingkat nasional. Mereka melihat bagaimana Prabowo dan Jokowi yang berseteru di Pilpres 2019, kemudian justru mesra kembali dengan merekrut Prabowo sebagai menteri di kabinet Jokowi.
Terbaru, bahkan pada Pilpres 2024 Prabowo malah berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra Jokowi. Atau partai-partai lawan Capres Prabowo yang kemudian turut masuk di lingkaran istana, bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM). Hal ini memberi masyarakat pelajaran berharga, bahwa politik adalah hanya soal kepentingan semata. Bahwa politik adalah permainan atau kontestasi yang akan berakhir di meja makan sambil bercanda, seakan kemarin tak pernah terjadi apa-apa.
Masyarakat kemudian sadar, bila dahulu mereka hanyalah objek komoditas politik, kini turut menjadi “player” dan subjek politik. Maka tak heran, bila ada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan/atau Kartu Keluarga (KK) sebagai dukungan pemilih yang dikumpulkan oleh Tim pemenangan Paslon A, kemudian ditemukan juga di tangan Tim Paslon B, C bahkan D.
Oleh karena itu, strategi pengumpulan data yang dilakukan oleh Tim Paslon, berpotensi akan sangat besar tingkat errornya. Dan di sinilah partisipasi Silent Voter akan sangat menentukan. Pengamat politik dari Universitas Paramadina dan pendiri lembaga survei KedaiKOPI, Hendri Satrio, mendefinisikan Silent Voters sebagai variabel yang tak terbaca namun bisa sangat mematikan.
“Ia sangat mungkin mengubah konstelasi politik yang diramalkan banyak orang sebelumnya. Mereka, para Silent Voters biasanya memisahkan antara ekspresi politik dan profesionalitas di dunia kerja tapi mereka sendiri cukup aktif di media sosial,” tuturnya, sebagaimana dikutip dari Kantor Berita Antara.
Masyarakat sendiri sebenarnya terus mendengar perbincangan terkait preferensi politik di sekitar mereka. Hanya saja, mereka tidak mengekspresikan secara terbuka tapi mereka punya kecenderungan untuk memilih salah satu dan sedang mengakumulasi pengetahuan dan keyakinan untuk memilih.
Mereka yang hening ini membuat potensi untuk memenangkan Pilkada menjadi sama-sama kuat. Masing-masing memiliki potensi sama besar selama konstituen terus membicarakan tentang diri, visi-misi, dan program mereka.
Apa Silent Influencer?
Istilah ini, merupakan penyebutan penulis sendiri, untuk menggambarkan seseorang yang sebenarnya mempunyai pengaruh besar pada suatu lingkungan pergaulan sosial, punyai followers (pengikut) yang banyak, tetapi ia lebih memilih turut berkampanye atau mengajak pengikutnya secara senyap, untuk memilih Paslon tertentu pada kontestasi politik.
Silent Influencer secara otomatis adalah seorang Silent Voters. Hanya saja ia tidak menentukan pilihan untuk dirinya sendiri, melainkan juga mengajak oranglain untuk memilih seperti pilihannya. Ia tidak berkampanye secara terbuka, tetapi mampu memberi pengaruh atau menggerakkan pihak-pihak tertentu secara diam-diam (tidak terpublikasikan). Oleh karena itu, peranan Silent Influencer ini tentu saja juga sangat besar untuk menentukan kemenangan suatu Paslon pada Pilkada.
Sebagaimana dijelaskan mengenai Silent Voters, para Silent Influencer juga biasanya adalah para tokoh masyarakat, kalangan terpelajar, kaum cendekiawan, tak menutup kemungkinan juga para pejabat ASN dan TNI - Polri. Sama seperti Silent Voters, penyebab sikap mereka itu biasanya adalah karena larangan suatu aturan yang memaksa mereka harus (terlihat) netral. Atau karena punya kedekatan hubungan dengan Paslon-Paslon lainnya. Sehingga menjaga sikap, agar hubungan itu tetap baik-baik saja, di kemudian hari.
Baik Silent Voters maupun Silent Influencer berpotensi menjelma menjadi riak kecil yang mampu membalikkan keadaan menjadi tak terprediksi. Selama ini, banyak orang bahkan tim sukses dalam suatu pemenangan mengabaikan fenomena yang tak banyak orang memperhitungkan, yaitu Silent Voters dan Silent Influencer.
Silent Voters dan Silent Influencer akan memilih tetap senyap sampai akhir kompetisi. Bahkan bisa jadi paslon yang ia dukung dan pilih pun tidak mengetahui sikapnya tersebut. Hal itu ia lakukan sebagai bentuk keyakinan dirinya (idealisme), kecocokan dengan visi misi yang diusung Paslon, atau kedekatan emosional (chemistry), bahkan bentuk balas budi.
Silent Voter dan Silent Influencer memang telah membuat peta politik menjadi sulit untuk dibaca dengan jelas. Sebab para Silent Voters juga potensial menjadi swing voter bahkan golput sekalipun, ketika mereka berubah fikiran yang merubah pilihannya di detik-detik akhir pemungutan suara.**
Penulis : J. Sadewo, S.H., M.H. (Jurnalis, Advokat dan Pengamat Sosbudhukpol PALI)