Pemerintah Larang Bakar Lahan, Apa Solusi Bagi Petani?
Opini : J. Sadewo, S.H [Pemerhati Kebijakan Publik]
POLUSI asap di Asia Tenggara pada tahun 2015 masih membekas di ingatan. Pencemaran udara yang disebabkan oleh kabut dan asap itu terjadi akibat kebakaran hutan di provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan (Pulau Sumatera) dan juga Pulau Kalimantan, pada Juni 2015 hingga Oktober 2015.
Lebih dari 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan lahan lainnya terbakar pada tahun 2015 – 4,5 kali lebih luas dari Pulau Bali. Dampak pada wilayah yang terbakar termasuk hilangnya kayu atau produk non-kayu, serta berbagai habitat satwa.
Kebakaran hutan di Indonesia tersebut tercatat sebagai rekor yang terparah dalam sejarah. Penyebabnya adalah fenomena el Nino yang membuat kondisi cuaca mengering dan memperpanjang kemarau.
Akibatnya, Ribuan orang dilaporkan terkena infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) sejak kabut asap menggelayut di langit Sumatera. Beberapa dikabarkan meninggal. ISPA sejatinya disebabkan oleh infeksi virus, bukan oleh kabut asap. Tapi polusi udara yang parah, ditambah dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh bisa mengakibatkan gangguan pernafasan. ISPA ini banyak menjangkiti anak-anak dan kaum manula.
Krisis kebakaran dan asap Indonesia tahun itu disebut sebagai “tindakan kriminal lingkungan hidup terbesar pada abad ke-21”. Sejumlah besar hutan dan lahan terbakar tanpa terkendali, dan dampaknya pada kesehatan, pendidikan dan penghidupan jutaan masyarakat Indonesia di wilayah sekitar kebakaran sangat terasa dan merugikan. Ekonomi Indonesia juga mengalami kerugian milyaran dolar.
Berangkat dari bencana itu, disertai pressure negara-negara tetangga yang merasa dirugikan akibat intensitas kabut asap kiriman dari Indonesia, pemerintah pun ancang-ancang mengambil kebijakan tegas. Sebagai bentuk langkah antisipasi, perangkat hukum pun disiapkan untuk menjerat pelaku pembakaran lahan.
Setidaknya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, telah disiapkan sebagai ancaman bagi pelanggarnya.
Selain itu, Kapolri dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah mengeluarkan Maklumat Bersama tentang Penegakan Hukum Kebakaran Hutan dan Lahan. Ancamannya pun tak main-main, barang siapa secara sengaja membakar hutan, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar (vide : Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).
Terkait dengan penegakan hukum tersebut pula, baru-baru ini, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumatera Selatan menangkap enam petani yang membuka lahan dengan cara membakar. Enam petani tersebut dianggap telah melanggar maklumat Kapolda Sumsel, tentang larangan membakar hutan dan lahan yang berlaku sejak 11 Juni 2020.
Direktur Reskrimsus Polda Sumsel Komisaris Besar Anton Setyawan mengatakan, enam petani tersebut berasal dari tiga daerah yakni empat dari Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), satu warga Ogan Komering Ilir (OKI), dan satu warga Banyuasin. Penangkapan dilakukan 1 Juli lalu.
Berdasarkan hasil penyelidikan, para petani tersebut melakukan pembakaran untuk membuka lahan pertanian milik mereka sendiri yang luasannya berkisar antara 1-5 hektare. Mereka melakukan pembakaran dengan cara memotong tanaman liar, ranting, dan tumbuhan liar, dikumpulkan untuk kemudian dibakar.
Kebijakan tegas pemerintah itu dipandang oleh beberapa pihak, terutama para petani dan pekebun, yang terbiasa membuka lahan berpindah secara tradisional, berupa slash and burn (menebang dan membakar) sangat tidak berkeadilan.
Menurut mereka, pemerintah semestinya mempertimbangkan faktor kearifan lokal setempat. Dimana metode bertani dengan membuka lahan secara dibakar (biasanya ladang untuk ditanami pohon karet), telah membudaya secara turun-temurun.
Luasan lahan yang relatif kecil, yakni 1-2 hektar saja serta penyekatan api agar tak meluas, dipandang takkan memberi dampak buruk kabut asap secara signifikan. Kini para petani pun merasa terancam dikriminalisasi hanya untuk menyambung hidup dengan mempertahankan mata pencaharian mereka.
Pemerintah semestinya menyediakan solusi yang logis bagi para petani. Jalan keluar yang ditawarkan selama ini, berupa pembukaan lahan dengan menggunakan traktor tangan atau alat berat, pembakaran dilakukan di dalam sebuah drum bakar atau menggunakan larutan pengurai dekomposisi sehingga akan terurai secara alami masih tak sesuai harapan. Karena membutuhkan biaya yang tak sedikit, serta memakan waktu yang lama.
Alih-alih mengkriminalisasi petani, pemerintah juga harusnya lebih aktif menindak tegas perusahaan penyebab kebakaran lahan yang notabene lebih luas sehingga menyebabkan dampak kabut asap parah setiap tahunnya. Hal ini dirasa penting agar peristiwa kabut asap Karhutla tahun 2015 tidak terulang kembali.
Penegakan hukum yang berkeadilan dan berkepastian hukum, serta solusi yang diharap dapat meredam kegelisahan para petani hingga kini masih menjadi ekspektasi. Agar kabut asap tak ada, dan para petani masih tetap bisa menyambung hidup keluarganya. [data dikumpulkan dari berbagai sumber]