Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi
ENTAHLAH kenapa, kematian adalah satu hal yang selalu melekat di fikiranku. Kematian seperti bayangan yang selalu mengiringi kemana pun aku pergi. Kematian kerap membuat dunia, seakan permainan yang segera game over. Ia menghantui, siang dan malam.
Kata seorang ustadz -- yang namanya aku lupa, Rasulullah adalah orang yang paling dicintai dan disayangi oleh Allah SWT. Ia wafat saat usianya menginjak 62 tahun. Entah kenapa, orang yang demikian disayangi oleh Allah sekalipun, ternyata hanya diberiNya umur 62 tahun saja. Tidak lebih dari itu, atau bahkan hingga ratusan tahun, misalnya?
Dengan demikian, jika Rasul saja diberi usia 62 tahun, maka suatu hal yang wajar kiranya, bila kita manusia dhaif ini, hanya diberi usia di bawah itu. Taklah mungkin pula kita protes, bukan?
Lalu, bila Allah ternyata memberi umur yang panjang - lebih dari 62 tahun, misalnya. Maka patutlah bila kemudian, orang-orang kerap menyebutnya dengan istilah ‘bonus’ umur. Misal, usianya hingga 70 tahun. Artinya ada 8 tahun bonus dari Allah untuk dia merasakan alam dunia ini. Tentu, itu hanya sekedar perumpamaan saja.
Karena faktanya, tak banyak lagi orang yang umurnya mencapai 60-70 tahunan. Tidak sedikit juga bayi, anak-anak, remaja hingga dewasa yang sedang berjuang untuk kehidupan dunia, justru telah dipanggil oleh Yang Kuasa, secara tiba-tiba.
Semua sudah tahu, kematian adalah keniscayaan bagi seluruh mahluk hidup. Semua agama juga sepakat, bahwa tak ada yang bernyawa dapat hidup abadi. Artinya, dunia beserta segala hiruk pikuknya hanya sekejap saja. Setelah itu ; Saya, anda, dia, dan mereka akan terbujur tak bernyawa.
Oleh karenanya, saya berasumsi andai sekarang usia kita 50 Tahun, maka (anggaplah) paling lama hanya tersisa 12 tahun lagi saja, untuk kita bersama orang tercinta. Untuk berinteraksi sosial di muka bumi. Untuk menuruti kehendak syahwat manusiawi. Lalu, seperti limit usia Rasul, kita pun akan berkalang tanah.
Dan, jika pun ternyata kita mendapat ‘bonus’ usia, seperti disebutkan di atas. Maka, bersyukurlah. Karena (semestinya) masih ada kesempatan untuk semakin mempersiapkan diri, agar lebih prepare menyongsong panggilan dari Illahi.
Sayangnya, kita manusia ini sering khilaf. Sering lupa, bahwa usia ada batasannya. Bahwa kita tak tahu kapan ‘kontrak’ hidup kita akan berakhir. Apakah nanti sore, besok, atau lusa. Dan ketika masa itu tiba, tak perduli sedang apa yang dilakukan. Apa sedang tidur, makan, bernyanyi, beribadah atau berbuat dosa. Kita tak bisa meminta pengunduran barang satu detik pun.
Faktor dari semua itu, kebanyakan berasal dari naluri yang tak pernah merasa puas. Kita ini terkadang seperti sedang meminum air laut yang asin. Semakin diminum semakin haus. Tak pernah merasa cukup. Selalu merasa kurang. Sudah diberi satu masih meminta dua. Diberi dua inginkan tiga. Demikian seterusnya. Hingga kita lupa, bahwa ‘jatah’ hidup kita, mungkin besok segera berakhir.
Waktu yang semestinya kita isi untuk bersyukur, instropeksi diri, berkumpul dengan orang-orang tercinta, beribadah, memohon ampunan Allah dan sesama, masih kita isi untuk mengejar dunia yang rupanya hanya tipuan belaka.
Kematian datang tidak berdasar sistematika dan logika. Ia tidak terbantahkan, tak bisa terhindarkan. Lalu, apakah kita sudah siap jika seketika, waktunya telah tiba?? Wallahu’alam bishawab.[josa sang pendosa || Pendopo Talang Ubi, 20.10.2020]